Tragedi Asmat memperlihatkan bahwa kucuran duit negara yang besar tidak otomatis bisa meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat. Banyak soal yang membuat distorsi, dari kemungkinan ada kebocoran hingga penggunaan dana yang tak tepat sasaran. Kaum papa seolah-olah hanya dijadikan alasan menaikkan anggaran tiap tahun, tapi mereka tidak ikut menikmatinya.
Nyatanya, banyak anak-anak di Kabupaten Asmat, Papua, yang menderita gizi buruk dan penyakit campak. Data yang dikumpulkan Tim Investigasi Tempo hingga awal Februari ini mengungkap setidaknya 66 anak meninggal karena penyakit campak dan 6 bocah meninggal akibat gizi buruk. Pasien campak di kabupaten ini mencapai 652 orang. Adapun penderita gizi buruk 223 anak.
Walaupun Bupati Asmat Elisa Kambu telah mencabut status kejadian luar biasa campak di daerahnya awal pekan lalu, urusan kemanusiaan ini belumlah beres. Indeks pembangunan manusia-gabungan dari indeks kesehatan, pendidikan, dan standar hidup layak-di wilayah ini masih rendah. Sesuai dengan data Kementerian Kesehatan pada 2016, jumlah pusat kesehatan masyarakat di Papua pun minim. Rasio jumlah puskesmas per kecamatan di provinsi ini hanya 0,7 persen, jauh di bawah angka rata-rata nasional, yang mencapai 1,6 persen. Artinya, belum semua kecamatan di Papua memiliki puskesmas.
Presiden Joko Widodo semestinya tak perlu tersengat oleh kritik keras seputar Asmat. Ia bereaksi berlebihan terhadap pemberian "kartu kuning" oleh Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia Zaadit Taqwa dalam peringatan Dies Natalis UI ke-68 beberapa waktu lalu. Tak seharusnya Presiden menjawab kecaman dengan menantang Zaadit dan kawan-kawan bersedia dikirim ke Papua buat melihat medan yang sulit.
Zaadit meniup peluit dan mengacungkan map kuning-ia memperagakan gaya wasit dalam pertandingan sepak bola-sesaat setelah Jokowi berpidato dalam perhelatan di kampus UI itu. Intinya, ia meminta pemerintah lekas mengatasi wabah campak dan gizi buruk di Asmat. Kritik ini sesungguhnya wajar saja di era demokrasi. Tragedi Asmat tak bisa hanya dianggap sebagai masalah lokal, tapi juga menyangkut alokasi anggaran negara yang tak terawasi.
Provinsi Papua mendapat anggaran hampir Rp 44,68 triliun tahun ini, yang terdiri atas dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana otonomi khusus. Anggaran ketiga jenis dana itu masing-masing Rp 22,45 triliun, Rp 1,8 triliun, dan Rp 5,62 triliun pada tahun ini. Dana yang ditransfer pemerintah pusat itu belum termasuk dana desa dan anggaran berbagai kementerian yang masuk ke Papua. Kucuran dana yang telah berlangsung selama 15 tahun ini semestinya berpengaruh langsung terhadap kehidupan masyarakat.
Realitasnya, duit yang benar-benar dialokasikan untuk menjaga kesehatan masyarakat tidaklah besar. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap penggunaan dana otonomi khusus Papua pada 2010 menunjukkan alokasi untuk pendidikan dan kesehatan masing-masing hanya 7,9 persen dan 10,6 persen. Padahal Undang-Undang Otonomi Khusus jelas mengatur bahwa dana bagi hasil minyak dan gas harus dialokasikan sekurang-kurangnya 30 persen untuk pendidikan dan 15 persen buat kesehatan serta perbaikan gizi.
BPK perlu mengaudit lagi dana otonomi khusus secara lebih mendalam. Indikasi adanya penyimpangan terlihat dari hasil audit lembaga ini tiga tahun lalu. Dana kesehatan di Papua yang seharusnya digunakan untuk perbaikan gizi dan pencegahan penyakit dihabiskan untuk kegiatan seperti lokakarya dan biaya administrasi.
Istana telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Papua dan Papua Barat pada akhir tahun lalu. Hanya, kebijakan tambal sulam seperti ini tidak akan menyentuh akar persoalan. Yang lebih penting dilakukan pemerintah adalah memastikan dana otonomi khusus di kedua provinsi itu digunakan secara tepat sasaran sesuai dengan amanat undang-undang.
Banyak kegiatan pembangunan dan pemekaran wilayah di Papua hanya menguntungkan segelintir elite daerah. Teori bahwa makin banyak kabupaten dan kecamatan akan meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat sejauh ini juga belum terbukti di Papua. Anggaran malah banyak dihabiskan untuk membayar pegawai dan membiayai birokrasi.
Presiden Jokowi semestinya menyadari bahwa salah kelola anggaran bisa berakibat buruk seperti yang terjadi di Asmat. Republik ini lalu terkesan tak sanggup menyelamatkan anak-anak dari kelaparan dan serangan campak.