Pemerintah harus mengurungkan rencana memungut zakat dengan memotong 2,5 persen dari gaji pegawai negeri sipil yang beragama Islam. Zakat merupakan bagian dari ibadah yang bersifat personal, sedangkan Indonesia bukanlah negara agama. Negara tak perlu campur tangan terlalu jauh.
Jika tak dibatalkan, keinginan pemerintah memotong gaji untuk zakat, yang dilontarkan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, akan mendatangkan polemik. Banyak kalangan menilai rencana pemerintah yang diwujudkan dalam bentuk peraturan presiden ini berlebihan. Alasan mendasar: zakat merupakan kewajiban yang bersifat individual dan dalam pelaksanaannya tak boleh ada pemaksaan.
Memang, sesuai dengan rencana pemerintah, pegawai negeri yang tidak mampu membayar zakat boleh mengajukan keberatan. Tapi cara berpikir ini melenceng dari asas zakat yang bersifat pribadi. Pemerintah tak boleh membuat aturan yang "memaksa" pegawai negeri merelakan gajinya dipotong. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pajak dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 pun tak mencantumkan kewajiban ini.
Ada kesan pemerintah ingin menggenjot penerimaan zakat yang potensinya, sesuai dengan hitungan Badan Amil Zakat Nasional, mencapai Rp 200 triliun. Sedangkan pengumpulan dananya baru mencapai Rp 6 triliun pada 2017. Keinginan pemerintah untuk menggenjot penerimaan dana zakat ini baik, tapi tak boleh dilakukan secara serampangan.
Sejumlah ahli agama pun sudah mengingatkan bahwa menarik zakat dengan memotong gaji pegawai negeri dalam pelaksanaannya sangatlah rumit. Merujuk pada sejumlah pendapat, zakat baru wajib dibayarkan oleh orang dengan pendapatan minimal setara dengan 85 gram emas atau Rp 42 juta. Syarat tambahan: harta emas itu telah disimpan setahun.
Jika mengacu pada struktur penggajian pemerintah saat ini, gaji pokok terendah pegawai negeri sipil adalah Rp 3,5 juta dan yang tertinggi Rp 5 juta. Katakanlah dari gaji pokok itu yang dapat disimpan hanya Rp 1 juta. Dengan demikian, sesuai dengan kriteria agama, pegawai itu belum wajib membayar zakat. Tak sepantasnya pula pemerintah mengatur hal yang bersifat sukarela ini dalam peraturan presiden.
Pemerintah pusat perlu berkaca pada pemotongan gaji pegawai negeri sipil untuk zakat di sejumlah daerah. Di beberapa daerah, peraturan daerah yang mengatur ihwal zakat pegawai negeri ini selalu menimbulkan kegaduhan. Dari soal sifat perda yang memaksa, penyaluran kepada penerima zakat yang tak sesuai dengan syarat, hingga lembaga pengelola zakat yang tidak kredibel. Yang lebih parah, sejumlah elite politik daerah menumpanginya untuk kepentingan politik. Sesuatu yang sukarela, jika diatur, justru akan mendatangkan mudarat.