Dalam waktu berdekatan, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membuat dua langkah yang memicu perdebatan publik. Pertama, mengusulkan dua perwira aktif Kepolisian RI menjadi pelaksana tugas gubernur di Sumatera Utara dan Jawa Barat. Kedua, mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian.
Peraturan Mendagri itu menggantikan aturan lama tahun 2011 tentang pedoman penerbitan rekomendasi penelitian. Peraturan baru yang keluar pada 11 Januari lalu itu, antara lain, memuat ketentuan baru tentang "potensi dampak negatif penelitian". Hal tersebut bisa menjadi salah satu alasan pemerintah menolak menerbitkan izin penelitian.
Menteri Tjahjo berdalih peraturan itu masih berupa draf dan menyayangkan bocornya rancangan tersebut. Namun Kementerian Dalam Negeri sadar, seperti dikatakan Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum, Soedarmo, ketentuan itu memang tak menjelaskan ukuran "dampak negatif" hasil penelitian. Kementerian mengaku belum meminta masukan publik.
Syukurlah, karena adanya kritik dan desakan publik, Peraturan Mendagri Nomor 3 Tahun 2018 itu akhirnya dibatalkan. Langkah itu patut didukung sebagai bentuk koreksi terhadap kebijakan yang kurang mengakomodasi masukan publik dan bisa membahayakan dunia penelitian di negeri ini tersebut. Menteri Tjahjo harus belajar dari kasus ini bahwa setiap regulasi yang dikeluarkan seharusnya sudah melalui proses yang matang dan dikaji secara mendalam, termasuk mendengarkan masukan publik.
Adapun ihwal pengajuan petinggi kepolisian menjadi pelaksana tugas kepala daerah di Sumatera Utara dan Jawa Barat, Tjahjo beralasan demi keamanan selama penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Dua perwira tinggi itu adalah Asisten Operasi Kepala Polri Inspektur Jenderal M. Iriawan serta Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Inspektur Jenderal Martuani Sormin.
Langkah Tjahjo itu jelas menabrak sejumlah aturan. Salah satunya adalah Pasal 157 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Pasal itu mewajibkan setiap anggota aktif Polri mengundurkan diri dari kedinasan sebelum menduduki jabatan pimpinan tinggi setingkat madya dalam instansi pemerintah. Selain itu, ada kekhawatiran mengenai independensi dua calon pelaksana tugas gubernur itu karena ada kandidat kepala daerah yang berlatar belakang Polri.
Berbeda dengan peraturan Mendagri tentang izin riset yang sudah dibatalkan, perihal penunjukan pelaksana tugas gubernur itu akhirnya berada di tangan presiden. Menteri Tjahjo seharusnya sadar, mengusulkan perwira polisi aktif menjadi pelaksana tugas gubernur tak hanya berpotensi melanggar undang-undang, tapi juga bisa disebut sebagai upaya menggoda polisi agar masuk ke ranah politik. Hal ini bertentangan dengan semangat reformasi yang mendorong aparat keamanan agar profesional. Menteri Tjahjo seharusnya tak membebani presiden dengan usul seperti itu.