MERUAKNYA isu lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) setiap menjelang pemilihan umum merupakan bukti bahwa perkara ini punya muatan politik yang besar. Partai-partai dengan konstituen kelompok homofobia mendukung rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang memberikan sanksi kepada pelaku hubungan sejenis.
Setelah Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan menyebutkan ada lima fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat yang setuju terhadap keberadaan LGBT, wakil kelimanya sibuk membantah dan justru menuding balik Fraksi PAN yang tidak serius mendukung ganjaran hukum terhadap LGBT. Alih-alih membela warga minoritas, Dewan menjadikan mereka bagai pengidap lepra yang harus dijauhi.
Rancangan KUHP memang memojokkan LGBT dengan memperluas delik pencabulan. Sesuai dengan Pasal 292 KUHP, selama ini pemidanaan hanya berlaku untuk orang dewasa yang mencabuli anak-anak dengan jenis kelamin sama. Delik yang kini dimuat dalam Pasal 495 Rancangan KUHP itu diperluas hingga mengatur hubungan seks sesama orang dewasa dengan jenis kelamin sama. Ancaman hukumannya sampai sembilan tahun penjara.
Banyak anggota DPR yang berpendapat pasal itu justru memberi kepastian hukum terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender: penuntutan hanya bisa dilakukan terhadap pelaku pencabulan yang menggunakan kekerasan, melanggar kesusilaan di muka umum, atau mempublikasikan pornografi. Anggota Dewan tampaknya lupa bahwa pornografi, misalnya, bisa dilakukan baik oleh kaum homo maupun heteroseksual. Aturan ini juga akan ditafsirkan beragam-ragam. Poster film dengan dua lelaki bergandeng tangan, misalnya, bisa jadi membuat produser sinema masuk penjara.
Aturan itu jelas diskriminatif dan dapat memantik persekusi: publik memburu kelompok minoritas itu, lalu main hakim sendiri. Delik itu juga bisa disalahgunakan untuk kepentingan merusak reputasi lawan politik atau mengancam kelompok adat dan penghayat kepercayaan. Hingga kini, banyak anggota kelompok seperti itu yang telah lama berpasangan sebagai suami-istri tapi tak melalui pengesahan negara.
Gejala homofobia memang telah jadi umum. Seiring dengan meningkatnya konservatisme pemeluk agama, publik kini tak bisa rileks memandang persoalan kaum penyuka sesama jenis. Apa yang telah lama ada seolah-olah diabaikan begitu saja: keberadaan banci dalam kesenian tradisional atau pengakuan kepada gender lain- selain laki-laki dan perempuan- dalam kebudayaan Bugis. Dalam penelitian yang dilakukan Wahid Foundation, homofobia ini mendapat pembenaran: bersama komunisme, LGBT masuk dua besar kelompok yang tidak disukai responden.
Hasil jajak pendapat yang dilakukan Saiful Mujani Research & Consulting berbicara serupa. Sekitar 80 persen responden menolak bertetangga dengan LGBT atau menjadikan mereka sebagai wali kota, bupati, gubernur, atau presiden. Dalam hal pengakuan hak hidup lgbt sebagai warga negara, responden terbelah dalam komposisi hampir setara.
Para anggota DPR semestinya menyadari LGBT adalah warga negara yang harus dilindungi. Mereka seyogianya tidak melulu memikirkan tingkat keterpilihan partainya pada pemilu dengan mengikuti kehendak mayoritas dan menjadikannya dasar kebijakan. Keyakinan terhadap ajaran agama tidak bisa dijadikan landasan penyusunan undang-undang. Bagaimanapun, agama adalah obyek yang multitafsir. Mengikuti tafsir mayoritas akan memojokkan minoritas. Bukankah agama mengajarkan keadilan- termasuk terhadap mereka yang ringkih dan tak berdaya?
Akar persoalan memang pada pendapat yang mempercayai homoseksual sebagai kelainan seksual yang menular. Pendapat semacam ini diperkuat dengan doktrin agama yang tak mengindahkan perkembangan ilmu pengetahuan. Padahal sejumlah studi telah menunjukkan bahwa homoseksual merupakan sifat bawaan dan tidak bisa berpindah.
Dari sana kemudian muncul wasangka bahwa LGBT telah menjadi gerakan besar untuk melemahkan agama dan negara. Homofobia bersekutu dengan xenophobia, pandangan yang menolak semua yang datang dari luar. Inisiatif Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Program Pembangunan (UNDP) buat membantu mengurangi ketimpangan dan marginalisasi LGBT di empat negara, termasuk Indonesia, sempat menjadi kontroversi. Tak urung Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta badan dunia itu membatalkan program berbiaya Rp 108 miliar tersebut.
Sudah selayaknya negara berhenti mengurus orientasi seksual warga negara. Yang pribadi biarlah masuk wilayah pribadi. Seseorang boleh saja menilai kaum LGBT sebagai pendosa. Tapi, seperti dikatakan seorang anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, tidak semua pendosa harus masuk penjara.