Para pengarang, juga bila ia seorang penyair sufi ternama, tak bisa menaklukkan pembacanya.
Ketika di tahun 1540 Malik Muhammad Jayasi menggubah Padmaavat dalam bahasa Awadhi, ia tak akan menduga, apalagi menangkal, kemarahan orang Hindu di abad ke-21 karena puisinya. Zaman memang lain, medium berubah.
Kini, Padmaavat bukan lagi puisi yang berbicara dari kertas dan huruf yang dibaca para literati. Di tahun 2018, sutradara terkenal India, Sanjay Leela Bhansali, menyajikannya dalam film yang tersebar luas ke orang ramai. Seakan-akan disetel, protes meletus berhari-hari; orang-orang Rajput di daerah Rajasthan menyatakan film itu menghina dan mencemari seorang putri Hindu yang cantik jelita. Mereka tahu karya Bhansali diilhami puisi epik Malik Muhammad Jayasi tentang putri Padmaavat yang digandrungi raja muslim Alauddin Khilji-meskipun mereka tak tahu persis bagaimana.
Yang jelas, sang sutradara diserbu. Set untuk latar film itu dibakar. Bahkan jauh sebelum film diluncurkan 25 Januari yang lalu, seorang pemimpin Partai Bharatiya Janata menyerukan agar Deepika Padukone, yang memerankan Padmaavat, dipenggal lehernya, bersama sang sutradara. Sementara itu, sekelompok perempuan Rajasthan menyatakan akan bunuh diri jika film itu diteruskan. Empat negara bagian India pun melarang peredarannya-sampai akhirnya Mahkamah Agung membatalkan keputusan itu.
Saya belum menonton Padmaavat, saya tak kenal masyarakat India dengan baik, tapi tampaknya kemarahan kolektif itu mirip kemarahan kolektif di mana-mana. Pada mulanya adalah para demagog. Ada orang-orang yang pandai memilih kata untuk menghasut--kata sebagai bunyi keras tanpa makna yang diucapkan ke arah orang ramai yang dirundung resah, cemas, kehilangan, dan kebingungan.
Seorang demagog, kata Aristophanes, ibarat penangkap lele. Di kolam yang tenang dan jernih ia tak akan menangkap apa-apa. Maka diguncangnya air. Bagian yang butek dan berlendir pun akan mengubah genangan. Dan si penangkap lele akan dengan gampang menangguk.
Di suasana keruh India itulah terdengar kabar bahwa dalam film yang dibuat Bhansali ada adegan hubungan intim Padmaavat, putri aristokrat Hindu, dengan Alauddin Khilji, raja penyerbu yang Islam. Dan itu, bagi para demagog, mencemarkan kesucian sang putri dan menista ajaran Vedha.
Sudah tentu, seperti biasa, demagogi menancapkan tafsirnya sendiri-melupakan bahwa Padmaavat tak pernah ada dalam sejarah. Ia hanya tokoh fiktif sebuah puisi.
Tapi mereka tak peduli. Orang yang pernah menonton Padmaavat mengatakan, adegan "intim" itu tak ada dalam karya Bhansali. Bagaimana mungkin? Dengan sejenak mengintip Wikipedia orang akan menemukan bagaimana alur cerita Malik Muhammad Jayasi: Alauddin Khilji memang terpikat kecantikan Padmaavat, tapi perempuan itu telah jadi istri setia Raja Ratan San. Syahdan, permaisuri itu terjun ke dalam api sebagai tanda cinta ketika baginda tewas dalam sebuah perang tanding. Tatkala Alauddin dan pasukannya datang menyerbu, perempuan-perempuan Hindi di kerajaan Rata San bakar-diri bersama dalam upacara jauhar. Sang penakluk tak mendapatkan apa-apa.
Dan cerita ditutup dengan murung. Alauddin berduka. Ia merasa tak berdaya menghindari tragedi itu-tragedi karena "hasrat tak pernah puas, tak pernah lenyap" dalam "dunia yang fana dan khayali".
Di sini, sang penyair, Jayasi, seorang muslim, menutup puisinya dengan kontemplasi yang buddhistis, setelah menunjukkan ikatan cinta yang tulus sepasang orang Hindu. Agaknya bagi sufi ini, agama hanya wadah yang memisah-misahkan.
Ironisnya, hampir 600 tahun kemudian, perspektif ini dikukuhkan justru oleh kekerasan di Rajasthan. Barangkali puisi Jayasi bermula hendak membuka sekat, tapi apa daya seorang penyair kuno di sebuah zaman yang oleh esais India terkenal, Pankaj Mishra, disebut the age of anger, "abad kemarahan"?
Sang sufi tak bisa mengarahkan penafsirnya. Zaman berubah, situasi berubah. Juga agama di India, di mana orang Hindu menegakkan kekuasaan mayoritas dengan Partai Bharatiya Janata yang meminggirkan mereka yang bukan Hindu.
Agama Hindu di India-bukan cuma agama Hindu di India-akhir-akhir ini tampak jadi sumbu yang pendek di tengah bara dalam sekam. Umat tak lagi menyambut yang mahasuci di dunia, tapi menyambut yang profan: kelompok sendiri, yang serba curiga, serba cemas. Ekspresi keagamaan yang disebut Ernest Gellner sebagai celebration of community-mengibarkan bendera kesatuan sosial, bukan merunduk takzim di depan yang transendental-berkembang jadi mobocracy. Dan lahirlah kekuasaan gerombolan yang beringas, yang merumuskan dirinya dengan kebencian kepada apa saja yang lain.
Tapi "yang-lain" akan selalu datang: dari iman lain, wilayah lain, atau realitas lain-terutama, akhir-akhir ini, realitas yang dilahirkan ilmu dan teknologi yang tumbuh terus, lepas dari agama-agama. Terdesak itu semua, mobocracy menyatakan perang kepada sekitar. Satu kalimat dalam film Padmaavat yang bisa dikutip: "Perang hanya punya satu aturan-menang." Tapi tidakkah di sini perang juga tanda kegagalan jadi penyelamat hidup di dunia?
Goenawan Mohamad