Komisi Pemberantasan Korupsi sudah selayaknya melanjutkan pengusutan kasus suap Rp 61,8 miliar yang melibatkan puluhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta pejabat Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Komisi antikorupsi tak boleh puas hanya dengan memenjarakan mantan gubernur Gatot Pujo Nugroho dan 12 anggota DPRD.
Bancakan uang rakyat yang berulang, dengan jumlah pelaku yang masif, menunjukkan bahwa di Sumatera Utara korupsi tak hanya dipicu oleh keserakahan individual. Ada problem struktural, yakni tuntutan untuk mendanai partai politik dan buruknya manajemen anggaran daerah, yang mendorong para politikus melakukan korupsi.
Tersebab begitu banyaknya pelaku korupsi anggaran periode 2012-2015 itu, bisa dipahami bila pimpinan KPK akan melimpahkan penyidikan sisa perkara ke Kejaksaan Agung. Dengan keterbatasan sumber daya, KPK memang perlu membuat prioritas untuk membongkar kasus korupsi kakap. Hanya, KPK harus menimbang betul manfaat serta mudaratnya sebelum mengalihkan perkara ke kejaksaan.
Bila jadi menyerahkan perkara tersebut, KPK harus memaksimalkan fungsi koordinasi dan supervisi seperti diamanatkan undang-undang. Dalam hal koordinasi, KPK sebaiknya membuka akses atas informasi, kesaksian kunci, dan bukti-bukti yang diperoleh selama penyidikan sebelumnya. Dengan begitu, kejaksaan tak usah memulai penyidikan dari nol lagi.
Dalam menjalankan supervisi, KPK harus memastikan setiap tahap penyidikan oleh kejaksaan berjalan pada rel yang lurus. Jangan lupa, sebelum suap untuk anggota DPRD ini terbongkar, Kejaksaan Agung telah menangani korupsi dana bantuan sosial Provinsi Sumatera Utara. Belakangan terungkap bahwa Gatot pernah menyuap Sekretaris Jenderal Partai NasDem, Patrice Rio Capella, untuk "mengamankan" perkara di kejaksaan. Kala itu Rio merupakan anggota Komisi Hukum DPR yang bermitra dengan Kejaksaan Agung.
Pada saat yang sama, kejaksaan hendaknya terbuka untuk disupervisi oleh KPK. Kejaksaan jangan terjebak dalam ego sektoral. Penuntasan perkara ini justru penting untuk membuktikan kepada publik bahwa Korps Adhyaksa bisa bekerja secara profesional tanpa konflik kepentingan.
Karena korupsi di Sumatera Utara demikian masif, pemenjaraan para pelakunya saja tak cukup. Perlu dilakukan pendekatan "struktural" agar korupsi anggaran daerah tak terus berulang. Untuk itu, pembahasan anggaran harus lebih transparan dan melibatkan publik. Selanjutnya, sistem penganggaran elektronik (e-budgeting) serta sistem pengadaan barang dan jasa elektronik (e-procurement) harus dijalankan secara konsisten.
Dengan transparansi anggaran, kalaupun korupsi tak otomatis sirna, ruang gerak para koruptor paling tidak akan terbatasi. Karena itulah, transparansi anggaran harus menjadi agenda utama kepala daerah Sumatera Utara yang terpilih pada Juni nanti.