Polisi harus berhati-hati memproses laporan pencemaran nama yang diadukan PT Kapuk Naga Indah, pengembang pulau reklamasi C dan D di Teluk Jakarta. Menyidik kasus ini dengan mengesampingkan fakta bahwa terlapor dan sejumlah saksi adalah konsumen pulau reklamasi yang kini sedang beperkara dengan Kapuk Naga bisa terasa sebagai upaya mengintimidasi, bahkan mengkriminalisasi, mereka.
Kasus ini sendiri berawal dari pertemuan PT Kapuk Naga Indah dengan sejumlah konsumennya pada akhir tahun lalu. Mereka membahas ketidakjelasan status properti di pulau reklamasi C dan D yang kadung diperjualbelikan. Sejumlah konsumen meminta Kapuk Naga- anak perusahaan Agung Sedayu Group- menangguhkan angsuran pembelian properti sampai surat perizinannya lengkap.
Namun permintaan itu ditolak pengelola. Konsumen yang nekat tak meneruskan pembayaran bahkan diancam akan diberi sanksi, berupa denda tiga persen dari total cicilan. Ketika itulah terjadi perdebatan. Nah, video rekaman suasana panas pertemuan inilah yang kemudian diunggah ke media sosial dan menjadi masalah.
Pertama-tama, polisi seharusnya tak serta-merta mempercayai klaim sepihak Kapuk Naga soal kerugian mereka. Konon, akibat video berdurasi dua menit itu, Kapuk Naga mengalami kerugian sekitar Rp 100 miliar. Klaim ini jelas masih membutuhkan bukti lebih lanjut.
Selain itu, klaim kerugian Kapuk Naga terasa janggal karena transaksi penjualan pulau di atas kawasan reklamasi itu seharusnya tak boleh terjadi. Sesuai dengan instruksi pemerintah DKI Jakarta, selama perizinan reklamasi masih bermasalah, tak boleh ada transaksi apa pun di sana. Dengan kata lain, pengakuan Kapuk Naga bahwa mereka menderita kerugian akibat peredaran video pertikaian mereka dengan pembelinya itu, bisa jadi, tak sepenuhnya akurat.
Polisi seharusnya menelusuri mengapa Kapuk Naga terus memasarkan properti dengan masa depan yang tak jelas di pulau reklamasi. Ketidakjelasan legalitas aset mereka itulah yang memicu sembilan pembeli pulau reklamasi menggugat Kapuk Naga. Mereka menuding perusahaan itu sengaja menjual aset yang masih bermasalah. Sesuai dengan taklimat Pasal 1338 alinea ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, semua perjanjian, termasuk jual-beli, harus dilaksanakan dengan iktikad baik yang dicerminkan oleh kelengkapan perizinan dan legalitas.
Di tengah proses gugatan itulah, muncul kasus pengaduan pencemaran nama via video viral ini.
Sejak awal pengusutan oleh polisi, kasus ini sarat kejanggalan. Polisi, misalnya, merasa perlu memanggil dan memeriksa para konsumen dengan dalih memeriksa asal-muasal video. Padahal polisi bisa dengan gampang mengungkap identitas digital pelaku yang mengunggah video dengan mengandalkan teknologi canggih. Bisa dimaklumi bila pemeriksaan itu terasa intimidatif bagi saksi. Bisa dipahami juga bila para saksi khawatir terseret-seret, karena polisi memakai pasal pencemaran nama, yang sudah sangat dikenal sebagai pasal karet.
Karena itu, sudah seharusnya polisi menunda pemeriksaan kasus ini sampai perkara gugatan hukum antara Kapuk Naga dan para konsumennya selesai lebih dulu. Jika tidak, aroma kriminalisasi demi kepentingan pengembang tercium amat pekat.