Puisi Taufiq Ismail relevan untuk menggambarkan terpilihnya Bambang Soesatyo menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat: Aku Malu Jadi Orang Indonesia.
Republik ini dilanda krisis orang yang bisa memimpin lembaga prestisius semacam DPR. Setelah Setya Novanto terpaksa turun dari jabatan karena menjadi terdakwa korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik, lembaga legislatif ini dipimpin Bambang Soesatyo, koleganya di Golkar. Ia juga bukan pilihan yang ideal. Nama Bambang terserak pada banyak perkara korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Ia, misalnya, disebut-sebut terlibat mengatur dan menerima suap proyek simulator di kepolisian. Akhir tahun lalu majalah Tempo dengan telak mengungkap Bambang, yang selama ini menjadi Ketua Komisi Hukum DPR, memiliki satwa langka tanpa izin. Belum lagi soal perkara korupsi e-KTP. Miryam Haryani dari Partai Hanura, yang menjadi terdakwa korupsi itu, mengaku ditekan oleh anggota DPR, termasuk Bambang, agar tak menyebutkan nama-nama koleganya yang menerima suap dengan total Rp 2,5 triliun itu.
Bambang juga acap memamerkan gaya hidup hedonistik di media sosial. Ia tak sungkan menunjukkan deretan mobil mewah seharga miliaran rupiah dari merek-merek mahal dan pelesir memakai jet pribadi. Bambang seperti lupa ia menjadi anggota Dewan karena dipilih masyarakat Kebumen, kabupaten kedua termiskin di Jawa Tengah.
Kian miris, karena semua harta itu ternyata tak dilaporkan ke penegak hukum. Bagi pejabat publik, melaporkan kekayaan merupakan kewajiban dan seharusnya menjadi syarat utama seseorang untuk lolos menduduki jabatan yang digaji dengan uang pajak. Naiknya Bambang menjadi Ketua DPR menunjukkan Indonesia tak punya sistem yang benar dalam menyaring seseorang menduduki jabatan publik.
DPR adalah lembaga yang selalu mendapat angka jeblok dalam indeks persepsi korupsi. Naiknya Bambang akan semakin merusak persepsi itu, yang pada akhirnya membuat masyarakat tak akan lagi percaya pada lembaga penting dalam sistem demokrasi ini. Bambang menjadi contoh buruk yang mewakili ratusan anggota DPR yang belum, atau malas, atau sengaja, tak melaporkan harta kekayaannya.
Bambang juga mengkonfirmasi pepatah kuno yang menyebutkan ikan membusuk dari kepala lebih dulu. Ia berasal dari partai yang pragmatis dan kerap mengabaikan asas kepatutan. Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto pun kini tetap tebal kuping mempertahankan kursi Menteri Perindustrian kendati perangkapan jabatan ini mengundang kecaman.
Jika pemimpin lembaga publik tak malu melanggar asas kepatutan, bukan tak mungkin mereka juga permisif terhadap pelanggaran yang lebih besar, seperti korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Bambang harus segera melaporkan seluruh hartanya ke Komisi Pemberantasan Korupsi dan mengajak koleganya di DPR melakukan hal serupa, agar kita tak malu punya Ketua DPR, juga tak malu menjadi orang Indonesia.