Bank pemerintah sebenarnya dapat memainkan fungsi countercyclical. Ini adalah kebijakan yang berlawanan dengan kecenderungan pasar: mengurangi belanja saat pertumbuhan ekonomi tinggi dan menaikkan belanja pada masa resesi. Dalam konteks ini, saat kondisi ekonomi melandai, kredit milik bank pemerintah seharusnya direkayasa agar bisa tumbuh lebih tinggi dibanding kelompok bank non-pemerintah yang cenderung menurun atau rendah. Bahkan, Chen et al. (2016) menyatakan, penyaluran kredit bank pemerintah dapat menjadi alternatif kebijakan dalam menangani krisis sepanjang tetap dilakukan dengan hati-hati alias prudent.
Namun, berdasarkan Laporan Bank Umum (LBU) per Juli 2017, kredit bank milik pemerintah daerah (BPD) ternyata tumbuh rendah bahkan lebih rendah dari industri perbankan. Rendahnya pertumbuhan kredit itu sungguh sangat disayangkan. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi pembangunan ekonomi di suatu daerah adalah seberapa besar penyaluran kredit di daerah tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah, secara jelas disebutkan bahwa tujuan pembentukan BPD adalah menyediakan pembiayaan bagi pelaksanaan usaha-usaha pembangunan daerah dalam rangka pembangunan nasional.
Untuk melaksanakan maksud tersebut, BPD disyaratkan memberi pinjaman untuk keperluan investasi, perluasan, dan pembangunan proyek-proyek daerah, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah maupun perusahaan campuran antara pemerintah daerah dan swasta.
Sepanjang pantauan saya terhadap data kredit BPD, terdapat beberapa fakta yang layak menjadi perhatian. Pertama, sumbangsih kredit BPD terhadap total kredit relatif rendah. Dalam skala nasional, kredit BPD pada Juli 2017 menyumbang 8,35 persen dari total kredit kepada pihak ketiga, yang mencapai Rp 4.469,28 triliun. Rendahnya share kredit BPD tersebut tercatat stabil pada kisaran 8 persen sejak 2010.
Kedua, pertumbuhan kredit BPD terus menurun. Sejak 2011 hingga Juli 2017, pertumbuhan kredit BPD kepada pihak ketiga menurun, dari 24,30% menjadi 7,22%. Meskipun kondisi ini juga diikuti oleh kelompok bank lain, penurunannya terbilang jauh lebih tajam. Padahal sebelumnya kredit BPD sempat tercatat tumbuh tinggi pada 2011 (24,30%), melampaui kredit bank BUMN (19,73%). Sedangkan pada 2012, kredit BPD tumbuh 25,17%, lebih tinggi dari bank BUMN (23,52%) dan swasta nasional (21,57%).
Meskipun secara keseluruhan pertumbuhan kredit BPD masih single digit, pertumbuhan kredit beberapa BPD melampaui 10%, seperti BPD Jambi (21,38%), BPD Jawa Tengah (14,71%), dan BPD Bengkulu (14,13%). Sebaliknya, ada juga BPD yang pertumbuhan kreditnya minus, seperti BPD Kalimantan Timur (-6,06%) dan BPD Papua (-3,34%).
Ketiga, berdasarkan jenis penggunaan, kredit BPD sebagian besar dalam bentuk kredit konsumsi. Pada Juli 2017, kredit konsumsi BPD telah mencapai 70,26% dari total kredit kepada pihak ketiga. Sedangkan share kredit investasi dan modal kerja masing-masing hanya mencapai 10,71% dan 19,03%. Di beberapa BPD bahkan kredit konsumsi mencapai lebih dari 90% dari total kredit. Tren ini nyaris tidak berubah polanya, bahkan cenderung meningkat.
Kinerja semacam ini belum sejalan dengan Peraturan OJK Nomor 6/POJK.03/2016 tanggal 26 Januari 2016 yang meminta bank menyalurkan kredit produktif minimal 55% untuk bank umum kelompok usaha (BUKU) 1,60% untuk BUKU 2, 65% untuk BUKU 3, dan 70% untuk BUKU 4 pada akhir Juni 2016. Bila kita melihat kondisi saat ini, tak satu pun BPD yang memenuhi ketentuan OJK.
Lalu, bagaimana sebaiknya meningkatkan kredit BPD? Opsi pertama, misalnya, BPD bisa bekerja sama dengan bank BUMN dengan menjadi anggota sindikasi, khususnya untuk kredit korporasi BUMN yang bergerak dalam bidang infrastruktur. Momentum pembangunan infrastruktur yang masif secara nasional yang membutuhkan dana besar di berbagai daerah bisa dimanfaatkan oleh BPD untuk melebarkan sayap dengan membuka kerja sama dengan bank pemerintah yang jauh lebih besar. Dengan kata lain, harus ada porsi pembiayaan pembangunan infrastruktur yang berasal dari kredit BPD. Misalnya, BPD Sumsel Babel menyediakan kredit bagi kontraktor yang mengerjakan proyek kereta ringan di Palembang, yang nilainya mencapai hampir Rp 11 triliun. Jika 5% pembiayaan proyek tersebut ditanggung BPD Sumsel Babel, ia sudah bisa mengangkat pertumbuhan kredit bank tersebut lebih dari 10%.
Kalaupun BPD tetap bersandar pada strategi pemberian kredit konsumsi, akan lebih baik jika mereka meningkatkannya dalam bentuk kredit perumahan rakyat (KPR) ketimbang kredit pegawai. Selain bisa membantu penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, KPR dapat menyerap volume kredit lebih tinggi dan lebih banyak mengandung efek berganda.
Ronny P. Sasmita
Staf Ahli Komite Ekonomi dan Industri Nasional