Perombakan kabinet Presiden Joko Widodo dua hari yang lalu bertentangan dengan janjinya sendiri ketika terpilih sebagai kepala pemerintahan pada 2014. Ketika itu Jokowi berjanji akan membentuk pemerintahan yang profesional, bukan bagi-bagi kursi. Dia juga menegaskan menterinya tak boleh merangkap jabatan sebagai pemimpin partai politik. Semua janji itu kini menguap tanpa bekas.
Pemilihan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham menjadi Menteri Sosial, menggantikan Khofifah Indar Parawansa yang maju dalam pemilihan kepala daerah Jawa Timur, misalnya, jelas-jelas berpotensi memicu konflik kepentingan. Sebagai menteri sekaligus petinggi Partai Beringin, Idrus punya peluang memanfaatkan anggaran dan program Kementerian Sosial untuk meluaskan jejaring partainya.
Terlebih reshuffle Rabu lalu itu tidak mengikutsertakan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, yang dipertahankan di kursi Menteri Perindustrian. Itu artinya ada dua pengurus aktif Partai Golkar dalam kabinet Jokowi. Selain tak etis, posisi Idrus dan Airlangga jelas tidak adil buat partai politik lain pendukung Jokowi.
Publik masih ingat bagaimana Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar batal menjadi menteri karena enggan melepas kursinya sebagai pemimpin PKB. Khalayak juga amat menghargai ketika Wiranto memilih mundur dari kursi Ketua Umum Partai Hanura ketika diminta Jokowi menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Perubahan sikap Jokowi ini sungguh disayangkan. Dia tak mempertahankan preseden baik yang sudah dibangunnya pada awal pemerintahan.
Selain soal etika politik dan keadilan, reshuffle terbaru Presiden Jokowi juga dipertanyakan karena lebih mempertimbangkan aspek politis ketimbang kompetensi. Kita tahu, ditariknya dua jenderal purnawirawan ke dalam tim pembantu Jokowi--mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Moeldoko sebagai Kepala Kantor Staf Presiden dan mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Letnan Jenderal (Purn) Agum Gumelar sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden-merupakan ancang-ancang menyambut pemilihan presiden 2019.
Dengan pertimbangan semacam itu, jangan-jangan keseharian Moeldoko dan Agum sebagai pembantu presiden bakal lebih disibukkan oleh upaya mengimbangi pamor mantan Komandan Komando Pasukan Khusus Letjen (Purn) Prabowo Subianto dan mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo ketimbang melaksanakan tugas dan fungsi sesuai dengan jabatannya. Dalam berbagai survei, nama Gatot dan Prabowo memang sudah digadang-gadang sebagai penantang kuat Jokowi dalam perebutan kursi RI-1 kelak.
Di sisa masa jabatan yang kurang dari dua tahun, semestinya Jokowi bekerja lebih keras memenuhi janji-janji kampanyenya. Bersikap ingkar janji seperti sekarang rawan mempengaruhi persepsi positif publik ihwal kinerja pemerintahannya. Dengan bekerja optimal untuk kepentingan rakyat, peluang Jokowi memenangi periode kedua justru akan jauh lebih besar. Reshuffle pekan ini sama sekali tidak mendukung upaya itu.