Sebagai negara produsen beras terbesar nomor tiga di dunia, sesungguhnya agak sulit dinalar jika Indonesia kembali harus mengimpor beras dari luar negeri. Meski sifatnya sementara, karena keputusan pemerintah mengimpor beras dilakukan menjelang panen raya, maka tidak sedikit pihak yang khawatir hal itu akan menyebabkan terjadinya kelebihan pasokan dan ujung-ujungnya harga beras terancam turun.
Kementerian Perdagangan berdalih bahwa beras yang akan didatangkan dari Vietnam dan Thailand pada akhir Januari itu sedikit, hanya 500 ribu ton, dan bukan tipe medium atau premium, melainkan beras jenis khusus yang tidak ditanam di sini. Namun, karena beras impor itu nantinya dijual dengan harga maksimal selevel beras jenis medium, yakni Rp 9.450 per kilogram, maka risiko untuk bersaing dengan beras lokal medium tak terhindarkan.
Keputusan pemerintah ini dinilai tidak memihak kepentingan petani sekaligus refleksi dari tidak berjalannya manajemen tata niaga dan logistik pangan yang baik. Namun pemerintah beralasan bahwa impor dilakukan untuk meredam agar harga beras di pasaran tidak terus melambung, khawatir Bulog tidak akan mampu mengendalikan laju kenaikan harga beras dan menekan laju inflasi.
Entah data stok beras dari mana yang menjadi dasar Kementerian Perdagangan memutuskan impor beras, tapi yang jelas kebijakan ini telah menuai berbagai kecaman. Berdasarkan data ketersediaan beras yang ada di berbagai daerah, stok beras umumnya mencukupi, bahkan menjelang panen raya pada Februari nanti bisa dipastikan stok beras akan berlimpah. Dengan mengimpor beras, yang nanti paling terpukul atas kebijakan ini tentulah petani. Keputusan impor beras menjelang panen raya adalah keputusan yang tidak bijak karena akan menyebabkan harga gabah kering giling yang diterima petani jeblok.
Bagi petani, seberapa besar pun kenaikan harga beras di pasaran tidak akan mempengaruhi penghasilan mereka. Meski harga beras medium di pasaran sempat tembus hingga Rp 11.500, harga jual gabah di tingkat petani umumnya hanya sekitar Rp 5.000-5.500. Pihak yang paling diuntungkan dari kenaikan harga beras umumnya adalah pedagang perantara dan tengkulak. Tapi, ketika harga beras di pasaran menurun, maka pihak yang paling dirugikan umumnya adalah petani.
Keputusan pemerintah melakukan impor beras memang menguntungkan konsumen dan tengkulak, terutama para mafia perberasan. Tapi, di sisi lain, keputusan impor beras yang tidak tepat waktu alias telat, seperti yang dilakukan Kementerian Perdagangan kali ini, tentu akan berdampak kontraproduktif bagi upaya peningkatan kesejahteraan petani.
Menjelang panen raya, berbagai instrumen lain yang sebetulnya bisa dilakukan pemerintah adalah pengendalian harga beras melalui operasi pasar yang intensif, mempercepat penyaluran beras sejahtera (rastra), dan memperlancar arus distribusi serta mengatur logistik beras dengan mendorong peran Satgas Pangan yang lebih efektif.
Inti manajemen tata niaga dan logistik beras adalah bagaimana mengatur harga beli ke petani dapat berjalan stabil dan bagaimana mengatur penyerapan beras saat panen raya agar harga di tingkat konsumen pun stabil. Jangan sampai, hanya karena ingin melindungi kepentingan konsumen, nasib petani diabaikan.
Bagong Suyanto
Guru besar Sosiologi Universitas Airlangga
Hak Jawab Kemenko Perekonomian
Koran Tempo edisi Jumat, 12 Januari 2018, memuat berita "Luhut Pastikan Proyek di Bawah Koordinasinya Tak Mangkrak" di halaman 21. Angle berita itu bernuansa negatif bagi kementerian kami karena secara implisit mempertentangkan dua kementerian, yaitu Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kementerian Koordinator Kemaritiman. Data dalam tulisan itu tidak valid untuk dipertentangkan. Hal ini dapat menimbulkan persepsi seolah-olah kedua kementerian tidak sejalan.
Dalam konferensi pers setelah rapat koordinasi percepatan penyelesaian masalah berusaha, diberikan data yang berasal dari Badan Koordinasi Penanaman Modal, Tim Satuan Tugas Percepatan dan Efektivitas Paket Kebijakan Ekonomi, serta Tim Satuan Tugas Nasional Percepatan Pelaksanaan Berusaha. Data 190 proyek yang bermasalah merupakan investasi swasta (2010-2017), bukan proyek pemerintah. Karena itu, membandingkan kedua kementerian koordinator tidak tepat.
Investasi yang bermasalah terdiri atas berbagai proyek lintas kementerian. Kami mencari solusi supaya masalah cepat selesai dan kepercayaan investor terus bertambah. Pemerintah, melalui dua tim satuan tugas di atas, akan terus mengoptimalkan koordinasi, baik dengan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, maupun pemangku kepentingan lain, untuk mengawal realisasi proyek investasi di Indonesia.
Hermin Esti Setyowati
Kepala Biro, Kepala Bagian Humas Kementerian Koordinator Perekonomian