Kangen saya terobati setelah menyambangi Romo Imam di padepokannya. Berbulan-bulan saya tak ketemu beliau karena Romo bepergian ke negeri jiran. "Ada kabar ringan, Romo," saya mengawali obrolan, "Ada mahasiswa Universitas Sebelas Maret yang membuat skripsi dengan mengulas obrolan kita. Katanya, bahasa Romo santun padahal bicara politik yang panas."
Romo Imam sempat tercengang sejenak sebelum tertawa lepas sebagaimana biasanya. "Kadang hal-hal yang kita anggap remeh dimanfaatkan orang lain. Kalau itu untuk kebaikan, baguslah. Bagi saya, kalau ada masalah yang dihadapi bangsa ini, tak usah kita memaki. Cukup berikan hoax yang membangun, karena itu sangat positif," kata Romo.
Saya kaget. "Hoax membangun? Mungkin maksud Romo kritik yang membangun," saya memotong. Romo langsung meluruskan. "Maaf, saya cuma mau memancing sampean." Saya pun tertawa. Saya ingatkan Romo untuk berhati-hati, karena tahun ini adalah tahun politik, sangat sensitif. Salah bicara akan di-bully di media sosial.
"Jangan salahkan media sosial. Mereka suka gaduh karena pemimpin kita juga suka ribut. Masalah yang seharusnya bisa diselesaikan sambil ngopi bareng kok diumbar keluar. Contohnya pro-kontra menenggelamkan kapal pencuri ikan itu. Kok ribut berhari-hari?" Romo berhenti sejenak untuk minum. "Kok Pak Luhut minta Ibu Susi berhenti menenggelamkan kapal lewat media massa. Kan Luhut itu menteri koordinator, tinggal adakan rapat dan di situ minta Menteri Kelautan berhenti menenggelamkan kapal disertai berbagai alasan. Kalau Menteri Susi punya pandangan lain, ungkapkan di rapat itu pula. Jika buntu, bawa kasusnya ke Istana, ambil keputusan di sana. Ini kok kacau, kabinet macam apa ini? Di mana fungsi koordinatornya?"
Romo seperti menunggu reaksi saya. Saya pun bereaksi ala kadarnya. "Dulu, ketika saya masih karyawan, setiap promosi jabatan pasti dibekali kursus manajemen kepemimpinan, bagaimana menangani konflik, dan banyak lagi. Apa para menteri itu tak dibekali ilmu kepemimpinan? Atau presiden juga tak peduli dengan membiarkan menterinya saling berdebat untuk hal-hal yang seharusnya selesai di meja rapat?"
Romo terbahak-bahak. "Jangan menuduh para menteri itu bodoh," katanya di sela tawa. "Mungkin ini bagian dari strategi. Sampean nonton TV, kan? Ada jenderal aktif yang diusung jadi calon gubernur langsung bilang dia punya banyak strategi. Makan pagi strategi, makan siang strategi, makan malam pun yang dipikirkannya strategi. Di tahun politik ini strategi orang adalah cepat populer, apa pun jalannya, termasuk nempel media massa. Bahkan membuat akun-akun baru di media sosial dengan menyewa admin. Ribut itu bagian dari strategi. Gubernur Jakarta mengirim surat ke menteri meminta pembatalan hak guna bangunan di pulau reklamasi. Menteri menolaknya lewat jumpa pers, bukan lewat surat. Ini strategi zaman now, kalau bisa bikin ramai, kenapa tidak?"
Saya memilih diam sampai Romo melanjutkan. "Saya kira Pak Presiden sudah capek meminta rakyat jangan ribut di tahun politik ini. Jalani dengan biasa-biasa saja, yang tenang dan rukun, jangan sampai ada perpecahan. Tapi, masalahnya, apakah Presiden mau menegur menterinya yang suka ribut? Apakah Presiden memberi contoh yang baik? Beliau saja suka mengundang orang untuk ribut-ribut. Misalnya, memakai baju kaus ketika meresmikan kereta api bandara, padahal dalam undangan tertera pakaian rapi garis miring batik."
"Romo...," saya memotong. "Presiden kan bukan undangan?" Romo langsung terbahak, dan saya tak tahu di mana saya salah.
PUTU SETIA