Tuntutan hukuman tujuh tahun penjara untuk Heri Budiawan alias Budi Pego, aktivis lingkungan di Banyuwangi, sungguh tidak adil. Warga Desa Sumberagung, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, ini hanya menggunakan haknya untuk berunjuk rasa menolak tambang emas milik PT Damai Suksesindo di Gunung Tumpang Pitu, pada April 2017, ketika ditangkap dengan tuduhan menyebarkan paham komunisme.
Majelis hakim di Pengadilan Negeri Banyuwangi yang mengadili perkara ini harus membebaskan Heri dari semua dakwaan. Bukti yang diajukan jaksa, yakni spanduk berlogo palu-arit yang konon dibawa Heri ketika berdemonstrasi, bukanlah bukti yang memadai untuk menjatuhkan vonis penjara. Apalagi keberadaan spanduk itu sudah dibantah sejumlah saksi di persidangan.
Tak hanya itu. Tindakan jaksa menggunakan Pasal 107-a Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang mengatur soal kejahatan terhadap keamanan negara, untuk mendakwa Heri juga berlebihan. Unjuk rasa menolak tambang jelas bukan upaya menyebarkan paham komunisme, Marxisme, dan Leninisme sebagaimana diatur dalam pasal itu.
Heri dan kelompoknya memang getol menentang penambangan emas di Banyuwangi. Dia merasa eksploitasi sumber daya alam itu lebih banyak membawa mudarat ketimbang manfaat buat warga di sana. Sikap dan perlawanan semacam itu bukan kejahatan. Perusahaan tambang emas yang diprotes Heri tidak perlu kebakaran jenggot, apalagi sampai menghalalkan segala cara untuk mencoba membungkam protes warga.
Kebiasaan polisi memakai pasal antikomunisme untuk mempidana mereka yang dianggap "melawan" seharusnya juga ditinggalkan. Itu cara tak bermutu yang selama ini dipakai sebagai jalan pintas untuk memberangus mereka yang tak sejalan. Tak elok jika polisi sampai dijadikan alat untuk kepentingan pihak tertentu.
Dalam mengadili perkara ini, majelis hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi tak boleh menari dengan irama kendang yang dimainkan si pelapor, yakni perusahaan tambang yang diprotes Heri. Selembar spanduk berisi gambar yang diklaim mirip palu-arit sungguh tak bisa menjadi dasar menjatuhkan vonis yang adil dan beradab. Putusan bebas untuk Heri adalah satu-satunya jalan keluar yang masuk akal untuk mengakhiri perkara ini.
Kasus itu juga mengingatkan kita bahwa hantu komunisme masih bergentayangan di negeri ini. Sudah saatnya penegak hukum dan elite politik membuka mata dan menyadari bahwa ancaman PKI adalah ilusi semata. Ketakutan akan bangkitnya PKI adalah komoditas politik yang seharusnya sudah dikubur puluhan tahun lalu. Sebagai ideologi, komunisme di seluruh muka bumi sudah lumpuh. Tak ada alasan untuk mencemaskan kebangkitannya.
Masih kuatnya hantu komunisme di Indonesia memang anomali. Kenyataan tak logis itu terjadi karena masih ada pihak-pihak yang mendapat keuntungan politik dan ekonomi dari maraknya stigma ini. Pada pemilihan Gubernur Banten 2017, misalnya, isu komunisme berhasil menggerus basis pemilih pasangan Rano Karno-Embay Mulya, yang akhirnya kalah tipis dari lawannya. Sebelumnya, pada pemilihan presiden 2014, Joko Widodo juga diserang dengan isu serupa dan kehilangan banyak suara.
Karena itu, upaya mengubur hantu komunisme di Indonesia harus diawali dengan komitmen bersama para elite kita untuk mengakhiri permainan politik seputar stigma kiri atau label komunis. Demokrasi dan kebebasan berekspresi tak boleh dikorbankan untuk kepentingan politik dan ekonomi sesaat.