Pemerintah selayaknya bekerja keras guna menciptakan iklim investasi yang kondusif di sektor minyak bumi dan gas bumi (migas). Hal itu mendesak dilakukan untuk mendongkrak penanaman modal di sektor ini yang terus turun sejak 2014.
Sepanjang 2017, realisasi investasi migas hanya US$ 9,33 miliar atau sekitar Rp 125 triliun. Angka itu lebih rendah dari target US$ 12,29 miliar, juga turun 29 persen dibanding realisasi pada tahun sebelumnya.
Kondisi global ikut mempengaruhi penurunan itu. Rendahnya harga minyak-berkisar US$ 40 per barel-membuat investor enggan menanamkan modalnya karena margin keuntungan yang kecil. Selain itu, buruknya iklim investasi di Tanah Air ikut berperan.
Tahun lalu, iklim investasi itu ikut dipengaruhi perubahan kebijakan. Pengelolaan wilayah kerja migas antara pemerintah dan kontraktor yang semula memakai skema cost recovery diubah menjadi gross split. Biaya investasi yang awalnya ditanggung pemerintah kini menjadi beban kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Perubahan itu tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 08 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split, yang diterbitkan pada Januari, lalu direvisi lagi pada Agustus dengan Permen Nomor 52 Tahun 2017.
Melalui aturan itu, pemerintah berharap bisa mengurangi beban APBN yang harus menanggung pengeluaran cost recovery yang terus meningkat. Pada 2016, misalnya, pagu cost recovery hanya US$ 8,4 miliar, tapi realisasinya menjadi US$ 11,4 miliar. Namun, di sisi lain, bagi investor, aturan ini membuat mereka lebih hati-hati dalam mengucurkan dana karena semua potensi kerugian investasi harus ditanggung sendiri.
Selain itu, perubahan aturan tersebut-yang terjadi dua kali dalam rentang delapan bulan-memberi kesan ketidakpastian hukum, yang menjadi salah satu poin penting dalam penilaian iklim investasi. Survei oleh Fraser Institute, lembaga riset asal Kanada, mencerminkan hal itu. "Global Petroleum Survey 2017" yang mereka lakukan menempatkan Indonesia dalam 10 negara dengan iklim investasi terburuk: urutan ke-92 dari 97 negara, jauh di bawah Malaysia (posisi ke-57), Brunei (ke-40), Thailand (ke-36), dan Vietnam (ke-61).
Riset IHS Markit, lembaga yang berbasis di London, Inggris, juga menempatkan Indonesia dengan nilai D (poin 4,20 dari skala 10) untuk kategori sektor kegiatan operasi hidrokarbon. Posisi Indonesia sebagai tujuan investasi hulu migas dinilai kian merosot antara lain dipicu oleh kebijakan yang gampang berubah. Pemerintah juga dianggap tak mengupayakan insentif yang jelas untuk sektor migas.
Inilah kesan negatif yang harus segera diubah pemerintah lewat aksi nyata. Selain soal konsistensi aturan dan intensif itu, hal yang mendesak dibenahi adalah soal perizinan. Masih banyak investor yang mengeluhkan ribetnya perizinan yang jumlahnya mencapai 341 lewat proses lintas 17 kementerian dan lembaga. Pengurusan izin itu diklaim bisa memakan waktu hingga tiga tahun.
Langkah-langkah jitu pemerintah diperlukan untuk mengubah itu, sekaligus memastikan target kenaikan investasi sektor hulu migas hingga 35 persen pada 2018 bisa tercapai.