Demokrasi kita makin amburadul menjelang pemilihan kepala daerah serentak. Pragmatisme menjadi panglima dalam berpolitik. Energi figur yang ingin berlaga habis buat melobi pemimpin partai politik untuk mendapat tiket pencalonan. Pilkada menjadi ajang politik kepentingan buat menghadapi pemilihan anggota legislatif dan presiden pada 2019.
Manuver dalam proses pencalonan gubernur di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara menggambarkan praktik politik yang kurang sehat itu. Dukungan partai politik menjadi rebutan para tokoh yang berniat ikut berlaga dalam pilkada. Pemimpin partai pun lihai menarik-ulur sokongan sesuai dengan kepentingannya.
Kisah Wali Kota Bandung Ridwan Kamil hanyalah salah satu contoh. Hingga menjelang tenggat pendaftaran calon gubernur, ia masih sibuk melobi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan untuk mendapatkan tambahan sokongan. Tokoh yang populer di Jawa Barat itu bergerak cepat setelah Golkar mencabut dukungannya. Partai ini memilih bergabung dengan Partai Demokrat untuk mengusung Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar. Sebelumnya, Deddy pun sempat ketar-ketir setelah ditinggalkan Gerindra, yang belakangan menjagokan Mayor Jenderal Purnawirawan Sudrajat.
Akrobat politik serupa terjadi di banyak daerah, baik provinsi maupun kabupaten atau kota, yang menggelar pemilihan kepala daerah secara serentak tahun ini. Sokong-menyokong menjadi urusan nomor satu. Kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat dinomorduakan. Kriteria pemimpin yang pas untuk suatu daerah juga tidak menjadi bahan perbincangan. Tak pernah dibahas apakah kandidat mampu memakmurkan rakyat di daerah pemilihan atau tidak.
Masyarakat di daerah makin terasa menjadi penonton lantaran lobi-lobi itu juga melibatkan kepentingan untuk menghadapi pemilihan anggota legislatif dan presiden pada 2019. Partai politik menghitung betul soal ini. Calon kepala daerah pun paham. Panglima Komando Cadangan Strategi Angkatan Darat Letnan Jenderal Edy Rahmayadi, misalnya, tak ragu di depan publik mengenakan baju Partai Keadilan Sejahtera--partai yang mendukungnya dalam pemilihan Gubernur Sumatera Utara. Hanya, pada hari berikutnya, Edy terlihat memakai baju Golkar.
Orang tentu tak habis pikir, bagaimana kesamaan visi, kalaupun bukan ideologi, antara calon kepala daerah dan partai penyokong bisa dibangun dalam waktu sekejap. Dukung-mendukung hanya ditentukan dalam hitungan bulan, minggu, bahkan hari. Aroma pertarungan menghadapi pemilihan presiden 2019 pun terasa sekali dalam ajang pilkada.
Koalisi Gerindra, Partai Amanat Nasional, dan Partai Keadilan Sejahtera, yang terlihat masih menjagokan Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada pemilihan umum mendatang, bahkan kompak menyokong satu nama calon di beberapa daerah. Sejauh ini, hanya Prabowo yang menjadi pesaing kuat Joko Widodo pada pemilihan presiden 2019. Prabowo leluasa memainkan kartu karena ia juga menjadi Ketua Umum Partai Gerindra. Jokowi lebih sulit memerankan hal serupa karena ia bukan Ketua PDI Perjuangan. Penentu calon kepala daerah dari PDI Perjuangan tetaplah Megawati sebagai ketua umum.
Harus diakui, hasil pertarungan dalam pilkada akan berpengaruh terhadap elektabilitas partai politik dan calon presiden yang akan diusung pada Pemilu 2019. Hanya, cara instan dengan menyokong tokoh-tokoh populer nonkader akan menjadi bumerang bagi partai. Dalam demokrasi kita, masyarakat akan makin berorientasi ke tokoh, bukan partai. Hal ini merupakan gejala dari keadaan yang lebih mencemaskan: krisis sistem kepartaian. Bukan cuma soal kaderisasi yang lemah, partai-partai juga mengalami krisis ideologi.
Jangan heran jika tingkat kedekatan masyarakat terhadap partai politik atau identifikasi partai di negara kita pun amat rendah. Lembaga The Comparative Study of Electoral Systems mencatat, pada 2005, level identifikasi partai di Indonesia hanya 12 persen dan mungkin saat ini makin merosot. Bandingkan dengan negara demokrasi lain seperti Amerika Serikat, yang mencapai 57 persen, dan Australia, 84 persen. Ini yang menjelaskan pula mengapa pemilih kita gampang berpindah ke partai lain dalam setiap pemilu.
Akrobat politik menjelang pilkada jelas mempertontonkan keadaan sistem kepartaian yang makin sekarat. Para pemimpin partai semestinya menyadari hal ini. Membesarkan partai politik tidak bisa hanya dilakukan secara instan dengan berebut tokoh populer dalam ajang pilkada, tapi harus dilandasi visi atau ideologi yang menyentuh kepentingan publik. Cara pragmatis mendulang dukungan hanya akan membuat partai makin kehilangan relevansi di masyarakat.