Mereka tak lagi jadi mesin. Lihat, mereka mempraktekkan keunggulan mereka dan mereka membenci kita. Mereka benci apa saja yang manusia.
-Karel Capek, R.U.R. (1920)
Robot pertama dalam sejarah adalah makhluk buatan dalam sebuah lakon berbahasa Cek yang dipentaskan di Praha, 25 Januari 1921.
Ada yang mengatakan, pengarangnya, Karel Capek, dengan R.U.R. yang tiga babak itu, hendak menunjukkan sisi traumatik modernitas, ketika kemajuan teknologi menghasilkan perang besar dan mulai tumbuh politik yang menggalang kekuatan dengan pengikut sejuta otomaton. Tapi apa pun yang mendorong Capek menulis, R.U.R. melintasi zamannya; ia science-fiction pertama dengan pengaruh yang sampai ke zaman kita.
"Robot" dalam R.U.R. bukan seperti R2-D2 dalam Star Wars-sebuah konstruksi mekanika-melainkan lebih mirip replicant dalam film Blade Runner, wujud hidup yang dibuat manusia dengan memanfaatkan rekayasa genetika, meskipun di masa Capek, pengetahuan tentang DNA belum dikenal. Tapi seperti robot yang umumnya beredar sekarang-dari Siri, Alexa, Cortana, Google Assistant, Sophia, yang dilengkapi kecerdasan buatan untuk menjawab macam-macam pertanyaan, sampai dengan drone ukuran kecil yang dirancang untuk pertempuran-robot fiktif dalam R.U.R. dibuat untuk mengerjakan hal yang memang tak dapat dikerjakan manusia.
"Mereka belajar berbicara, menulis, memecahkan soal matematika. Kapasitas ingatan mereka menakjubkan. Jika ada yang membacakan Ensiklopedia Britanika, mereka akan bisa mengulanginya dengan teratur...."
Imajinasi yang tak baru, tapi tetap mencekam-jika kita ingat novel Mary Shelley, Frankenstein, di tahun 1817, tentang makhluk yang mengerikan tapi berhasil mengajar diri sendiri membaca karya Milton dan Goethe.
Di tahun 1920, Frankenstein baru yang dibayangkan Capek diberi nama dari kata robota, yang dalam bahasa Cek berarti "kerja paksa", yang akar katanya rab, "budak".
Di tahun 2016-17, AI, kecerdasan buatan, tak pantas lagi disebut pelaku robota. AlphaGo-setelah mengalahkan lebih dari 40 juara Go, catur Cina yang rumit-mengalahkan Lee Sedol, orang Korea, salah satu maestro dunia. Juara Tiongkok, Ke Jie, akhirnya mengakui: manusia tak akan sanggup menandingi robot dalam permainan yang kompleks itu; ia sudah tiga kali kalah dalam pertandingan online.
Manusia sebelumnya kalah di pertandingan yang lebih sederhana. Kini robot sudah menggantikan perawat di rumah-rumah sakit, buruh di pabrik mobil, sopir taksi. Bahkan kecerdasan buatan akan mengambil alih pekerjaan para sarjana hukum dalam menyusun dan menelaah kontrak dengan ketelitian yang lebih, dengan otak dan mata yang tak kenal lelah. Bahkan komputer tak akan hanya membaca teks hukum, tapi juga nada percakapan orang yang mengirimkan teks itu. Dengan ongkos yang lebih murah.
Apa yang akan terjadi? Mungkin bukan pemberontakan para robot seperti dalam R.U.R. Dalam lakon Capek ini, robot-robot diisap habis-habisan, ibarat proletariat, sehingga Helena-yang mewakili "Liga untuk Kemanusiaan"-ingin membebaskan mereka. Pada akhirnya revolusi robot meletus. Makhluk bikinan itu berhenti jadi sekadar mesin, dan dengan kebencian yang memuncak, menghabisi manusia.
Di masa ini, 2017, tampaknya bukan robot yang marah, melainkan mereka, pekerja, yang cemas.
Orang teringat kembali pemberontakan Luddite di Inggris di abad ke-19. Dimulai di Nottingham, 11 Maret 1811, sejumlah buruh tekstil dan tukang tenun bergerak menghancurkan mesin-mesin pintal. Mereka takut mesin itu akan menggantikan keahlian mereka yang didapat dengan susah payah.
Saat itu keadaan ekonomi Inggris dibayang-bayangi perang menghadapi Napoleon dari Prancis. Hidup berat ditanggungkan. Para Luddite menyiapkan diri dengan berlatih perang di antara rawa-rawa di sekitar kota-kota industri, lalu menyerang pabrik-pabrik-dan bentrok dengan pasukan Inggris yang ditempatkan di Lancashire. Dengan cepat mereka ditindas. Di tahun 1816, pembangkangan dipadamkan.
Revolusi Industri berlanjut, "kemajuan" pikiran dan teknologi disambut dalam gairah kemakmuran dan pahitnya kesengsaraan. Para optimis tak hendak melihat nasib orang-orang yang sudah dan akan kehilangan kerja, harga diri, dan masa depan mereka. Sebaliknya para pesimis, kaum neo-Luddite, menunjukkan sisi yang muram. Mereka menikmati kemudahan membaca peta digital dan membaca puisi sufi online, tapi mereka takut menghadapi dunia baru yang angkuh dan mungkin nekat.
Dan bersama berjuta-juta manusia lain, kita, di Indonesia, yang harus menerima "kemajuan" itu agar tak tenggelam dalam sejarah, hanya bisa menunggu. Mungkin kita hanya sanggup membangun ruang dan waktu, di mana kita masih bisa menghadapi dunia sebagai sesuatu yang begitu berharga hingga tak dapat dipertukarkan-memandangnya seperti para penyair. Artinya, merayakan yang mungkin tak menghasilkan apa-apa kecuali rasa syukur.
Goenawan Mohamad