Terpilihnya Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Partai Golkar membawa implikasi politik. Ia mendapatkan takhta politik itu ketika sedang menjabat Menteri Perindustrian. Demi kepentingan Golkar dan efektivitas kabinet, Airlangga sebaiknya melepas jabatan menteri.
Airlangga meraih jabatan puncak di Golkar lewat musyawarah nasional luar biasa partai ini, beberapa waktu lalu. Mekanisme darurat itu ditempuh setelah ketua umum sebelumnya, Setya Novanto, mulai diadili dalam perkara korupsi proyek kartu tanda penduduk berbasis elektronik yang merugikan negara Rp 2,3 triliun.
Tak ada aturan yang melarang menteri merangkap jabatan di partai politik. Tapi Presiden Jokowi telah berjanji mencegah perangkapan jabatan semacam itu. Contohnya pun sudah ada. Ketika Wiranto diangkat menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, ia melepas jabatan Ketua Umum Partai Hanura. Demi efektivitas kabinet, Jokowi sebaiknya memegang teguh komitmen itu.
Kebijakan tersebut juga akan memperkukuh sistem presidensial. Berbeda dengan sistem parlementer yang tak menganut pemisahan kekuasaan, sistem presidensial sebetulnya membagi secara jelas fungsi legislatif dan eksekutif. Sayangnya, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara tidak mengatur secara tegas larangan rangkap jabatan itu.
Undang-undang tersebut memuat larangan menteri merangkap jabatan komisaris dan direksi serta institusi yang dibiayai dengan anggaran negara. Namun Undang-Undang Kementerian Negara, seperti disebutkan dalam penjelasan, hanya “menganjurkan” agar seorang menteri melepas jabatan di partai politik. Sudah ada uji materi agar masalah itu diatur lebih tegas dan mengikat, tapi ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Masalah nyata juga akan muncul jika Airlangga tak mundur dari kabinet. Ia bakal kesulitan membagi waktu dan tenaga. Airlangga harus menghadapi tugas berat di Golkar yang tengah terpuruk. Sejumlah survei menunjukkan angka keterpilihan Golkar hanya 11 persen. Elektabilitas ini anjlok dibanding perolehan suara Golkar dalam pemilu 2014 yang mencapai hampir 15 persen.
Skandal Setya Novanto dalam proyek e-KTP dianggap sebagai faktor yang meredupkan pamor Golkar. Setya dan sejumlah politikus Senayan juga dituding sebagai motor pembentukan Panitia Angket Dewan Perwakilan Rakyat untuk menyerang Komisi Pemberantasan Korupsi. Airlangga bisa memperbaiki citra buruk Golkar ini, antara lain dengan cara menarik dukungan atas Panitia Angket.
Anjuran agar Airlangga segera mundur dari kabinet jelas amat masuk akal. Tugasnya menyelamatkan perolehan suara Golkar pada 2019 tidak bisa dilaksanakan secara maksimal jika ia tetap menjadi menteri. Sebaliknya, bila ia terlalu berfokus membenahi partai, kewajibannya sebagai menteri ada kemungkinan akan terbengkalai.
*