Pemerintah seharusnya malu membagi-bagikan penghargaan Peduli Hak Asasi Manusia (HAM) kepada lebih dari 200 kabupaten dan kota serta 21 provinsi di seluruh Indonesia dalam peringatan Hari HAM Sedunia di Solo, 10 Desember lalu. Pemberian anugerah semacam itu, ketika rapor penegakan HAM pemerintah tak terlampau kinclong, jelas hanya gincu belaka.
Kesan itu tak terhindarkan karena salah satu penerima penghargaan tersebut adalah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menerima penghargaan Provinsi Peduli HAM langsung dari tangan Presiden Joko Widodo, ketika sejumlah isu pelanggaran hak asasi di wilayahnya justru tak terselesaikan.
Khalayak tentu belum lupa bagaimana sembilan perempuan dari Rembang, Pati, dan Grobogan melakukan aksi mengecor kaki di depan Istana Negara, Jakarta, pada pertengahan April tahun lalu. Aksi nekat itu dilakukan untuk menolak pembangunan pabrik semen di pegunungan Kendeng. Unjuk rasa serupa juga merebak di Kendal dan Pati. Dalam rangkaian aksi itu, Gubernur Ganjar gagap memediasi konflik dan gagal membela hak asasi warganya untuk memperoleh akses pada sumber air dan kedaulatan pangan.
Lambannya respons Ganjar sebagai kepala daerah juga tampak dalam kasus kriminalisasi dua warga Desa Surokonto Wetan, Kendal, Jawa Tengah. Pada Agustus lalu, kedua petani itu--Nur Azis dan Sutrisno Rusmin--dijatuhi sanksi pidana setelah dituduh menyerobot lahan milik Perhutani seluas 70 hektare. Padahal, mereka hanya meneruskan tradisi masyarakat adat di sana yang sudah berlangsung turun-temurun. Perhutani sendiri kabarnya akan menukar guling lahan itu untuk pembangunan pabrik semen di Rembang. Tak jelas benar apa yang sudah dilakukan Ganjar untuk membela hak asasi warganya yang dirampas itu.
Karena itulah, pemberian label Provinsi Peduli HAM bagi Jawa Tengah memicu kontroversi. Apalagi kriteria penilaian, metode juri bekerja, dan indikator penilaian lain dalam kontes ini tak pernah diumumkan secara terbuka. Situs web Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, selaku penyelenggara penghargaan, juga tak menyediakan informasi apa pun tentang detail itu.
Tak mengherankan jika muncul banyak spekulasi soal latar belakang pemberian anugerah ini. Tak sedikit yang mengaitkannya dengan pemilihan Gubernur Jawa Tengah pada pertengahan 2018. Ganjar memang digadang-gadang sebagai salah seorang kandidat, meneruskan masa jabatannya yang baru satu kali.
Dalam kesimpangsiuran semacam ini, Presiden Joko Widodo seharusnya tampil di depan dan menegaskan komitmen pemerintah untuk tidak mempolitisasi perlindungan HAM. Pemerintah pusat bisa menjadi teladan buat daerah-daerah jika mampu menyelesaikan semua kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu. Tanpa itu, semua seremoni dan penghargaan dari Presiden Jokowi hanya akan dipahami sebatas retorika. (*)