PENGANGKATAN Tin Zuraida sebagai staf ahli Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menunjukkan cacat pikir dan sesat kebijakan Menteri Asman Abnur. Tanpa perlu susah-payah mencari informasi latar belakang Tin, menteri dari Partai Amanat Nasional ini seharusnya sudah tahu bahwa Tin pernah berurusan dengan hukum.
Jika Menteri Asman Abnur dan stafnya malas mengecek latar belakang seorang pejabat ke pelbagai lembaga, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi atau Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, mereka bisa mencarinya di Google. Ada banyak berita tentang siapa Tin Zuraida di pelbagai media.
Tin Zuraida bukan sekadar istri mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi yang diduga terlibat dalam suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tapi ia juga ditengarai berusaha menghilangkan barang bukti berupa dokumen dan uang Rp 1,7 miliar ke toilet ketika rumahnya digeledah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi pada April 2016.
Ia pun bolak-balik diperiksa KPK. Tin memang tak terjerat perkara hukum dalam pengusutan kasus itu. Tapi mengangkat dia menjadi pejabat publik menunjukkan bahwa Kementerian PAN gagal mencari orang bersih untuk membereskan birokrasi. Seolah-olah tak ada orang bersih dan kompeten untuk duduk di jabatan penting itu. Menteri PAN seharusnya mencari penggantinya begitu Tin diusut KPK, bukan malah menunda pelantikannya. Apalagi jabatan Tin adalah staf ahli menteri bidang politik dan hukum. Apa yang akan dia sarankan kepada sang menteri jika ia sendiri pernah berurusan dengan hukum dalam perkara dugaan korupsi?
Status Tin sebagai pegawai negeri juga patut dipertanyakan. Mahkamah Agung tak pernah menerima surat pengunduran diri atau surat pemindahan Tin Zuraida dari jabatan sebelumnya sebagai Kepala Pusat Pelatihan dan Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung. Mahkamah bahkan tak mengetahui bahwa Tin diangkat menjadi staf ahli Menteri PAN. Alih-alih menjadi contoh dan standar reformasi, pengangkatan Tin menunjukkan bahwa Kementerian PAN tak mendukung gerakan perubahan dalam birokrasi. Kementerian PAN gagal menjadi lembaga negara paling reformis yang layak ditiru dan dicontoh lembaga negara lain. Padahal ini kementerian penting yang menunjukkan Indonesia ingin berubah menjadi bangsa yang lebih baik.
Pada zaman normal, Menteri PAN seharusnya malu dan mundur dengan sukarela karena mengangkat orang yang terindikasi bermasalah. Bisa dikatakan ia tak ikut arus menjadikan Indonesia bebas korupsi yang menjadi cita-cita dan keinginan seluruh rakyat Indonesia. Mundur merupakan cara elegan agar sejarah tak mengecapnya sebagai batu sandungan reformasi. Kita sudah bosan melihat akrobat politik dan kekuasaan melakukan pelanggaran hukum.
Indonesia membutuhkan sapu yang bersih karena kotornya politik dan kekuasaan saat ini. Tanpa keinginan kuat dari para pemimpin untuk menempatkan pejabat yang bersih, perubahan itu masih jauh panggang dari api. *