Langkah Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menganulir sebagian keputusan tentang mutasi 85 perwira tinggi sudah tepat. Hal itu diperlukan guna mengoreksi problem etik yang timbul ketika keputusan mutasi tersebut dirilis.
Keputusan yang tertuang dalam Kep/928.a/XII/2017 tertanggal 19 Desember 2017 itu merevisi surat yang dikeluarkan Panglima TNI sebelumnya, Jenderal Gatot Nurmantyo. Hadi Tjahjanto mengembalikan sejumlah nama yang sudah dimutasi Gatot ke posisi semula. Mereka, antara lain, Letnan Jenderal Edy Rahmayadi tetap sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat dan Mayjen TNI (Mar) Bambang Suswantono di Dankormar. Dua pos itu merupakan bagian dari 16 pos strategis yang dirombak Jenderal Gatot.
Mutasi jabatan perwira tinggi di lingkungan TNI adalah langkah strategis. Mutasi, antara lain, menyangkut bagaimana lembaga itu menjaga soliditas organisasi guna menyokong tugas utama, yakni melindungi dan menjaga keutuhan NKRI. Mutasi juga untuk menjawab problem keamanan yang berkembang.
Karena itu, melakukan mutasi di tengah proses pergantian jabatan panglima sangatlah tidak etis. Ini bom waktu bagi panglima berikutnya, karena belum tentu formasi warisan itu sesuai dengan kebutuhan profesional panglima anyar dalam menjalankan tugas. Dengan kata lain, mutasi ala Gatot berpotensi membatasi Hadi Tjahjanto dalam melakukan perubahan formasi sesuai dengan kebutuhannya.
Prosedur mutasi yang dilakukan Gatot memang tidak melanggar aturan, setidaknya jika kita mempercayai klaim Gatot bahwa dia sudah melakukan proses di pra-Wanjakti dan Wanjakti sebelum keputusan diambil. Namun Gatot tiga bulan lagi pensiun dan jabatan panglima akan beralih. Mutasi di ujung masa pensiun, bahkan hanya beberapa hari sebelum panglima baru dilantik, sulit diterima secara etik.
Menganulir sebagian keputusan itu bisa jadi merupakan cara win-win solution yang diambil Hadi Tjahjanto. Di sana ada aspek koreksi atas problem etik dalam keputusan Gatot, meski tak sepenuhnya “manuver” mantan panglima itu ia libas. Sebab, hanya 16 posisi yang dikoreksi.
Momentum ini sebaiknya juga dijadikan Hadi sebagai pelajaran dalam memimpin TNI bahwa aspek profesionalitas wajib dikedepankan saat mengambil kebijakan strategis. Termasuk saat dia melakukan mutasi, yang pasti bakal ia lakukan.
Saat ini, menurut peneliti LIPI, sejumlah masalah SDM masih saja mengganduli jika dilihat dari acuan berikut ini: bahwa TNI membutuhkan personel yang well-educated, well-paid, well-trained, well-equipped, dan well-missioned. Itu bukanlah persoalan enteng yang dihadapi Marsekal Hadi Tjahjanto, tapi juga bukan hal yang mustahil untuk diatasi. Cara terbaik adalah menerapkan merit system dalam mengelola anak buahnya, termasuk saat melakukan mutasi.
Selain mutasi, ada aspek lain yang tak boleh ditinggalkan, misalnya peningkatan dan modernisasi alutsista, agar TNI kian profesional. Hingga kelak TNI kian percaya diri dalam menjalankan tugas utamanya: melindungi dan menjaga kedaulatan Indonesia. *