Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Pilkada Minus Demokrasi

image-profil

image-gnews
Ratusan kader PDI Perjuangan Tulungagung menuntut DPP tak memberi rekomendasi kepada Bupati Tulungagung Syahri Mulyo yang akan mengikuti pilkada 2018, di GOR Lembu Peteng, Jl. Adam Damanhuri, Tulungagung, 21 Oktober 2017. Foto: Hari Tri Wasono
Ratusan kader PDI Perjuangan Tulungagung menuntut DPP tak memberi rekomendasi kepada Bupati Tulungagung Syahri Mulyo yang akan mengikuti pilkada 2018, di GOR Lembu Peteng, Jl. Adam Damanhuri, Tulungagung, 21 Oktober 2017. Foto: Hari Tri Wasono
Iklan

Sulardi
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Landasan konstitusi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) terdapat dalam Pasal 18 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Pasal tersebut menjadi dasar hukum penyelenggaraan pilkada.

Baca Juga:

Dasar hukum itu telah mengalami beberapa kali perubahan dalam undang-undang. Pertama, dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kepala daerah dipilih oleh DPRD. Kemudian, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 mengatur bahwa gubernur, wali kota, dan bupati dipilih oleh DPRD. Tapi pasal ini hanya berlaku satu minggu, karena undang-undang yang disahkan pada 23 September itu diubah pada 2 Oktober 2014 melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 yang menetapkan gubernur, bupati, dan wali kota dipilih oleh rakyat secara langsung.

Pergantian regulasi ini menunjukkan bahwa kata "demokratis" pada Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 itu ditafsirkan "dipilih oleh rakyat secara langsung", padahal demokrasi dapat dilakukan secara langsung maupun lewat perwakilan. Ada satu tafsir yang tidak pernah digunakan, yakni bahwa "demokratis" berarti "musyawarah mufakat". Musyawarah mufakat sesungguhnya merupakan demokrasi warisan leluhur bangsa, tapi tidak digunakan. Bangsa ini condong pada tafsir "demokratis" adalah pemilihan secara langsung oleh rakyat. Cara ini adalah cara liberal, yang dimunculkan pada akhir abad ke-18 oleh J.J. Rousseau.

Pada 2018, pesta demokrasi akan diselenggarakan di negara ini, yakni pilkada serentak yang meliputi 17 pemilihan gubernur, 115 pemilihan bupati, dan 39 pemilihan wali kota. Beberapa daerah yang menggelar pilkada antara lain Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, serta Kota Malang. Deklarasi pencalonan dan baliho pasangan calon kepala daerah serta wakilnya sudah bermunculan di jalanan.

Maurice Duverger, ahli sosiologi politik Prancis, mengatakan pemilihan penguasa itu bisa dilakukan secara demokratis, otokratis, atau kombinasi keduanya. Dia mencontohkan adanya penguasa yang dipilih dengan ditunjuk atau pewarisan, kemudian diratifikasi oleh badan perwakilan yang dipilih secara demokratis.

Ketentuan dalam UUD 1945 hanya menyebutkan ihwal pemilihan secara demokratis. Dari titik inilah sesungguhnya tata cara atau mekanisme yang selama ini berlangsung dalam pilkada telah melanggar UUD 1945. Sebab, proses yang berlangsung tidak sepenuhnya menggunakan cara-cara demokratis, bahkan cenderung elitis dan oligarkis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Cara-cara elitis terlihat dalam mekanisme pemilihan calon kepala daerah yang diajukan partai politik. Cara ini memang diatur dalam undang-undang, tapi sejak awal hanya pemimpin elite politik yang menentukan siapa yang akan dicalonkan. Mekanisme ini justru berlawanan dengan semangat demokrasi yang populis.

Lagi pula, pencalonan itu berbau oligarki. Kita maklum akan idiom "tidak ada makan siang yang gratis". Tidak mungkinlah pemimpin partai memberikan rekomendasi calon kepala daerah secara cuma-cuma. Apalagi bila calon itu berasal dari partai lain.

Maka, persyaratan konstitusi tentang pemilihan secara demokratis itu belum utuh. Beberapa tahap pemilihan kepala daerah masih dilakukan dengan cara-cara yang tidak demokratis. Padahal UUD kita menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi: "Kedaulatan ada di tangan rakyat dilakukan berdasar Undang-Undang Dasar". Pilkada merupakan salah satu perwujudan demokrasi dan diatur berdasarkan UUD yang semestinya demokratis. Sayangnya, para politikus menafsirkan makna demokratis itu terbatas hanya pada tahap "pencoblosan" di hari pemilihan. Itulah yang diklaim telah dilakukan secara demokratis dalam pelaksanaan pilkada. Hal ini justru menunjukkan pilkada masih minus demokrasi.

Sudah saatnya mekanisme pilkada yang elitis dan oligarkis itu segera diperbaiki. Rakyat mesti dilibatkan dalam setiap proses pemilihan. Proses itu meliputi penentuan calon, baik dari gabungan partai politik maupun sendiri-sendiri. Cara itu bisa ditempuh melalui konvensi tiap-tiap partai politik untuk menentukan siapa yang akan mereka calonkan.

Selama ini partai politik terkesan membuka lowongan "pekerjaan untuk menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah" yang kemudian diproses melalui uji kepatutan dan kelayakan serta kesepakatan berapa mahar yang akan diberikan oleh pelamar. Jika terjadi kesepakatan pun belum ada kepastian si pelamar jadi dicalonkan karena penentu rekomendasi bukan pemimpin partai di daerah, melainkan di pusat. Lengkaplah sudah pilkada kita ini menjadi pilkada yang elitis, oligarkis, dan sentralistis.

Proses awal yang sudah tidak benar ini pastilah menghasilkan pemimpin yang tidak benar pula. Paling tidak orientasi kinerja kepala daerah terpilih bukan pada kepentingan rakyat yang memilihnya, melainkan pada partai yang mendukung pencalonannya.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


14 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

21 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.


Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

15 Januari 2024

Mantan Menkominfo Johnny G. Plate divonis 15 tahun penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei 2023 dalam kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan Kemenkominfo. Johnny bersama sejumlah tersangka lainnya diduga melakukan pemufakatan jahat dengan cara menggelembungkan harga dalam proyek BTS dan mengatur pemenang proyek hingga merugikan negara mencapai Rp 8 triliun. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

PPATK menemukan 36,67 persen aliran duit dari proyek strategis nasional mengalir ke politikus dan aparatur sipil negara. Perlu evaluasi total.