Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) Fakultas Hukum Universitas Indonesia baru-baru ini merilis hasil penelitian perihal vonis yang dijatuhkan para hakim terhadap para terdakwa koruptor, dari pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung. Hasilnya, terjadi inkonsistensi dan disparitas putusan hakim dalam memutus perkara korupsi. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan signifikan pada 587 sampel vonis hakim yang diteliti.
Hasil penelitian yang mencakup putusan hakim sepanjang 2011-2015 ini jelas membuat kita prihatin. Benar hakim memiliki kekuasaan mandiri yang tak bisa diintervensi siapa pun dalam memutuskan perkara. Namun, jika fenomena ini terus terjadi, masyarakat tentu akan bertanya: apa yang terjadi pada lembaga peradilan kita? Para terdakwa koruptor juga bisa tersenyum karena memiliki “yurisprudensi” vonis terhadap para pelaku korupsi yang ternyata bisalah tidak tinggi.
Sejak setidaknya tujuh tahun terakhir kita memang melihat ada sesuatu yang ganjil dalam vonis yang dijatuhkan para hakim terhadap terdakwa koruptor. Keganjilan tersebut terutama pada pengadilan tindak pidana korupsi di luar Jakarta.
Pada 2011 misalnya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung memvonis bebas terdakwa korupsi bekas Wali Kota Bekasi Mochtar Muhammad. Masyarakat terkejut atas vonis tersebut. Kekagetan ini kemudian ditambah lagi dengan kejutan dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, antara lain, Bengkulu dan Semarang yang juga memvonis bebas sejumlah pelaku korupsi. Bahkan pada perkara korupsi bekas wali kota Semarang, Soemarmo Hadi, persidangan kasus ini dipindah dari Semarang ke Jakarta mengingat rekor mengerikan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang yang memvonis bebas tujuh terdakwa koruptor dalam usia pengadilan antikorupsi tersebut yang belum dua tahun.
Publik memang kemudian menaruh harapan kepada lembaga peradilan lebih tinggi untuk mengkoreksi vonis yang dinilai jauh dari rasa keadilan tersebut. Jika pun kecewa pada pengadilan tingkat banding, harapan masih ada pada benteng peradilan terakhir, Mahkamah Agung. Secara teori tentu para hakim pada lembaga peradilan lebih tinggi itu memiliki pandangan yang jauh lebih maju, sikap yang lebih adil –dalam melihat kehendak masyarakat- dalam memutus perkara korupsi.
Tapi, persoalannya, apakah memang harus demikian? Mesti menggantungkan harapan kepada lembaga lebih tinggi atas ketidakadilan, ketidakpuasan vonis terhadap para koruptor? Semestinyalah, pada tataran lembaga peradilan tingkat pertama ini keadilan dan ketegasan menjatuhkan vonis terhadap pelaku tindak pidana koruptor sudah terjadi. Apalagi kenyataanya lembaga peradilan lebih tinggi itu pun kerap tidak menganulir putusan rendah hukuman para terdakwa koruptor tersebut.
Hasil penelitian Indonesia Corruption Watch juga menunjukkan betapa makin memprihatinkannya vonis atas pelaku korupsi. ICW melakukan penelitian sepanjang Januari-Juni 2016 dan memantau 325 perkara korupsi dengan 384 terdakwa yang telah divonis, baik oleh pengadilan negeri, pengadilan banding, hingga Mahkamah Agung. ICW menemukan fakta, ada 46 terdakwa yang divonis bebas oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dari pemantauan, ada sebelas pengadilan Tipikor yang memvonis bebas terdakwa korupsi. Paling banyak Pengadilan Makassar, kemudian Pengadilan Banda Aceh, dan ketiga Jayapura.
Melihat perilaku korupsi yang sudah demikian akut ini, seharusnya para hakim memiliki sikap tegas dan sama dalam memandang tindak pidana yang masuk kategori extra ordinary crime ini. Para hakim yang mengadili kasus korupsi, yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, mesti memiliki pandangan sama bahwa pemberantasan korupsi tidak bisa setengah-setengah. Dan mereka adalah bagian penting pemberantasan itu karena vonis hakim merupakan salah satu unsur untuk membuat jera para koruptor dan pengingat bagi yang lain.
Mappi memberi saran bagus untuk mengatasi “bahaya vonis hakim” terhadap para terdakwa korupsi. Saran tersebut, perlunya adanya pedoman pemidanaan. Pedoman tersebut akan menjadi pegangan para hakim dan diharapkan dengan demikian terjadi pemahaman yang sama atas berapa vonis yang tepat untuk para pelaku koruptor.
Saran tersebut seandainya pun kemudian ditindaklanjuti, misalnya oleh Mahkamah Agung, kita tahu, Mahkamah tak akan tegas menetapkan, dengan angka, misalnya, berapa vonis yang mestinya dijatuhkan untuk para koruptor. Ini karena, selain kembali lagi kepada kredo suci “hakim mandiri, tak bisa diintervensi siapa dan lembaga apa pun,” juga karena ada batas minimal dan maksimal hukuman yang sudah diatur dalam Undang-Undang. Dan hakim akan bersandar pada “kebebasam hakim” untuk memutuskan berapa tahun vonis akan mereka ketuk sesuai keyakinan mereka.
Seandainya pun keluar pedoman itu, tampaknya pedoman itu lebih banyak meminta para hakim untuk menghukum para koruptor dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Ada pun jika pedoman tidak dibuat oleh Mahkamah, maka satu-satunya yang mestinya memiliki kekuatan hukum untuk mengatur pedoman itu ada di undang-undang –dan itu perlu waktu lama.
Itu sebabnya semua semestinya kembali pada para hakim itu sendiri. Tanpa ada pedoman dari manapun, termasuk dari lembaga peradilan di atasnya, mereka mestinya paham, bahwa masyarakat yang muak dengan korupsi ini, menginginkan hukuman yang tegas dan berat bagi para pelaku korupsi, termasuk hukuman menyita harta mereka yang didapat dari uang hasil korupsi tersebut.
LESTANTYA R. BASKORO –LAWMAG