Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Rezim Fiskal Hasil Hutan

Oleh

image-gnews
Hutan hujan tropis. Dok Tempo
Hutan hujan tropis. Dok Tempo
Iklan

Wiko Saputra
Pegiat Anti-Korupsi Auriga Nusantara

Indonesia dianugerahi hutan tropis yang luas, mencapai 120 juta hektare, terluas ketiga di dunia setelah Brasil dan Kongo. Hutan tropis kaya akan keragaman hayati yang dapat menjadi sumber penghidupan dan modal pembangunan. Namun potensinya tak termanfaatkan dengan baik. Justru terjadi eksploitasi yang mengancam keberlanjutan pembangunan.

Sejak hutan dijadikan komoditas ekonomi, eksploitasinya berlangsung masif. Malah pemerintah melakukan legalisasi dalam bentuk izin pengelolaan hasil hutan, seperti Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Saat ini, total luas lahannya mencapai 30 juta hektare atau seperempat dari luas tutupan hutan.

Namun pengelolaan hasil hutan sebagai sebuah komoditas ekonomi bukannya memberikan nilai tambah, melainkan justru menjadi bancakan korupsi. Hal ini terjadi karena buruknya tata kelola hasil hutan, yang salah satunya tata kelola fiskal.

Hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (2015) menemukan kerugian negara sebesar Rp 5,24-7,24 triliun per tahun atau setiap hari negara kehilangan sebesar Rp 14,3-19,8 miliar. Ada enam persoalan yang menjadi penyebabnya, yaitu buruknya data perencanaan dan penatausahaan, tidak berjalannya fungsi pengendalian, mekanisme akuntabilitas eksternal tidak memadai, terbatasnya penegakan hukum, aturan tarif yang membuka ruang eksploitasi, serta tidak adanya kontrol dan pengawasan publik.

Baca Juga:

Di Indonesia, rezim fiskal hasil hutan mengatur instrumen pungutan berupa dana reboisasi, provisi sumber daya hutan (PSDH), dan pengganti nilai tegakan (PNT) yang dalam aturannya masuk ke penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Basis perhitungannya adalah volume kayu yang ditebang dan dipanen dari hutan alam dan hutan tanaman dikalikan harga patokan dan tarif pungutan.

Dana dipungut oleh pemerintah pusat, sebagian dikelola langsung dan sebagian dikembalikan ke daerah dalam bentuk Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Pada 2016, total PNBP Kehutanan mencapai Rp 3,75 triliun dan DBH yang ditransfer ke daerah sebesar Rp 1,53 triliun atau 40,8 persen kembali ke daerah penghasil.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ada dua hal yang menurut saya menjadi masalah utama dalam tata kelola fiskal hasil hutan. Pertama, buruknya sistem tata kelola penerimaan. Banyak kayu hasil hutan tak tercatat, baik di area berizin maupun tak berizin. Ini terjadi karena pemegang izin tidak melaporkan hasil produksi dengan baik. Ini mereka lakukan untuk tujuan menghindari pungutan dan pajak.

Selain itu, aturan tarif pungutan yang rendah menyebabkan tingginya risiko penggundulan hutan dan bancakan korupsi. Penetapan harga patokan jauh di bawah harga pasar sehingga beban kewajiban pelaku usaha menjadi kecil dan mereka leluasa memperluas izin konsesi serta menyisihkannya untuk menyuap pejabat.

Kedua, buruknya sistem penggunaan dana. Basis DBH adalah daerah penghasil dan hasil produksi. Maka, semakin banyak izin dan hasil produksi, semakin besar DBH yang diterima oleh daerah. Sesungguhnya kita telah memberikan insentif bagi daerah untuk mengeksploitasi hutannya sendiri.

Selain itu, penggunaan dana reboisasi masih polemik. Dana reboisasi yang dikelola dalam bentuk DAK disalurkan ke daerah tapi tak digunakan optimal oleh daerah. Sampai saat ini, masih ada dana reboisasi yang mengendap di daerah, besarannya mencapai Rp 7 triliun. Sebagian yang sudah disalurkan juga tak sesuai dengan peruntukannya, yaitu untuk kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan.

Sekelumit masalah pengelolaan fiskal ini telah menimbulkan dampak terhadap kerusakan hutan di Indonesia. Jika tak ada reformasi fiskal, jangan harap generasi yang akan datang dapat menikmati hijaunya hutan. Yang terjadi hanyalah eksploitasi untuk kepentingan pemilik modal. Bisa jadi anugerah yang dinikmati hari ini berubah menjadi bencana lingkungan karena hutannya sudah gundul.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

1 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


24 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

30 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.