NAMANYA pendek: Tini. Demikian juga yang tertulis di kartu tanda penduduknya yang lusuh dan telah koyak laminatingnya saat diminta petugas penjara Cipinang, Jakarta Timur, sebuah penjara tua di seberang rel kereta api, beberapa waktu lalu.
Dia datang untuk menengok cucunya, pemuda 20 tahun yang dihukum empat setengah tahun penjara karena tertangkap tangan membawa sabu 0,4 gram. “Dia disuruh temannya membeli sabu, begitu datang mengantar sabu itu, dia ditangkap buser, rupanya temannya itu cepu,” kata perempuan 65 tahun itu. Siang itu Nenek Tini membesuk membawa tas keresek berisi tiga bungkus nasi dan sejumlah kue. “Di dalam nanti dibagi-bagi dengan kepala tahanan,” kata perempuan yang tinggal di Cakung, Jakarta Utara itu.
Cerita sama muncul dari Rohimah, perempuan 22 tahun anak yang hari itu juga datang membesuk suaminya. Dari rumahnya di Citayam, Bogor, ia datang bersama anaknya, gadis kecil berusia lima tahun. Sang suami, yang sehari-hari bekerja sebagai kepala montir sebuah bengkel sepeda motor ditangkap buser –pasukan buru sergal kepolian- saat mengantar sabu pesanan temannya. Juga dihukum empat setengah tahun penjara.
Rohimah tidak menduga suaminya, yang oleh teman-temannya dikenal sebagai pekerja keras, ternyata “pemakai.” “Tidak ada tanda-tandanya sama sekali,” katanya. Dan seperti cucu Tini, suaminya juga awalnya diminta temannya membeli sabu. “Ketika dia masuk ke kamar kost temannya, di sana sudah ada buser, temannya ternyata cepu dan sudah kabur,” katanya.
Cepu sebutan mereka yang “bekerja” untuk polisi: membantu memberi informasi atau petunjuk. Cepu juga tak segan-segan mengorbankan teman mereka sendiri. Untuk kasus narkoba seperti dialami cucu Tini atau suami Rohimah , sang cepu itu dasarnya juga pemakai. Saya tidak tahu apakah cepu itu mendapat bayaran atas informasinya tersebut. Tapi, tentu, minimal ia dibiarkan bebas dulu. Bebas tapi dalam “kendali.” Ia sebenarnya tidak bisa ke mana-mana lagi dan hanya menunggu “waktu.”
Penjara Cipinang, seperti hampir di seluruh penjara Indonesia, lebih banyak berisi para terpidana kasus narkoba ketimbang tindak pidana lain. Mereka berjejalan, bak ikan sarden, dalam sel. Hampir setiap pekan selalu saja ada narapida baru kasus narkoba yang masuk atau diinapkan di tempat ini. Cipinang yang semestinya hanya memuat 1.500 orang kini dihuni lebih dari 3.000 orang. Ironisnya banyak di antara para tahanan itu yang dilempar dalam bui ini karena tertangkap tangan -sesuatu yang tak bisa mereka sangkal dengan alasan apa pun- membawa narkoba yang hanya “nol koma” tersebut.
Sebenarnya Undang-Undang memberi “perlindungan” bagi mereka yang mengonsumsi narkoba. Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebut para pecandu narkoba itu harus direhabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Rehabilitasi medis untuk pengobatan dan rehabilitasi sosial untuk pemulihan fisik dan mental. Ada pun jika mereka terjerat kasus pidana, seperti tertangkap tangan membawa narkoba, dalam putusannya hakim bisa memerintahkan terpidana pemakai narkoba masuk rehabilitasi.
Tapi, kata “rehabilitasi” itu tampaknya barang langka dalam putusan hakim. Selain itu ada faktor lain yang membuat tak cukup mudah mendapat rehabilitasi. Sejumlah syarat mesti dipenuhi mereka yang diputus sebagai pelaku tindak pidana narkoba itu: permohonan rehabilitasi ke Badan Nasional Narkotika, rekomendasi penyidik, jaksa, hingga hakim. Dengan kondisi demikian tak heran mereka yang mendekam di dalam penjara ituterus bertambah. Dari sekitar 16 ribu penghuni penjara seluruh Jakarta, sekitar 14 ribu di antaranya, atau lebih dari 70 persen, adalah tahanan narkoba.
Jelas semua ini akan menjadi menambah problem tersendiri. Baik bagi Kementerian Kehakiman yang bertanggung jawab atas penjara atau pun para terpidana. Di dalam, mereka yang sebenarnya pecandu ringan, bergaul dengan mereka, para mafia narkoba, bandar narkoba, yang pada akhirnya semakin menjerumuskan mereka di dunia barang-barang haram itu. Entah terus jadi pemakai, entah menjadi pengedar.
Karena itu, tanpa keberanian hakim memerintahkan para pengguna narkoba direhabilitasi, tanpa kemauan keras pemerintah menyediakan sarana rehabilitasi, tanpa kemudahan mereka para terpidana narkotika itu mengurus persyaratan rehalibitasi, maka penjara akan semakin dijejali para pengguna, yang sebenarnya adalah korban. Korban mafia narkoba, korban cepu, dan mungkin juga korban mereka yang mengejar jabatan atas prestasi statistik menangkap “penjahat” narkoba.
LESTANTYA R. BASKORO -LAWMAG