Ibrahim Hasyim
Komisioner BPH Migas 2007-2017
Sejarah menunjukkan bahwa struktur pasar bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri berubah dari waktu ke waktu karena dorongan kebutuhan dan perubahan peraturan. Pada awal kemerdekaan, pelaku pasar minyak adalah badan usaha seperti Shell, Caltex, dan Bataafse Petroleum Maatschappij (BPM). Struktur pasarnya oligopoli, hanya beberapa pemain, yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi menjadi monopoli. Pertamina ditugaskan menyediakan dan mendistribusikan BBM dalam negeri. Pertamina kemudian membangun infrastruktur, seperti kilang, terminal, depot, kapal tanker, pipa, gerbong tangki kereta, stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), dan agen BBM di seluruh Indonesia.
Tugas ini secara efektif berjalan lancar, BBM tercukupi, dan pembangunan infrastruktur secara bertahap bertambah. Namun kemudian, efisiensinya dipertanyakan. Pasar monopoli dituding sebagai penyebab jeleknya layanan dan biaya tinggi. Maka, setelah 30 tahun, struktur pasar diubah menjadi pasar terbuka. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi mengatur bahwa badan usaha dapat memasarkan BBM di dalam negeri, asalkan ada izin usaha niaga BBM. Sekalipun volume BBM tidak meningkat dalam lima tahun terakhir, yang sekitar 74 juta kiloliter, tapi jumlah badan usaha terus bertambah melebihi 200 buah-boleh jadi yang terbanyak di sebuah negara. Ada pandangan bahwa semakin banyak badan usaha, semakin baik.
Dengan persiapan lima tahun, pada 2006 pasar dibuka. Sejak itu, ada dua jenis BBM di pasar, yaitu BBM bersubsidi dan non-subsidi. BBM bersubsidi diperuntukkan bagi konsumen tertentu, yang kuota volume nasionalnya ditetapkan oleh DPR serta Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), yang menugaskan suatu badan usaha untuk mendistribusikannya. Pada tahun awal beauty contest, puluhan badan usaha melamar, tapi yang memenuhi syarat cuma empat. Setiap tahun hal ini dilakukan, tapi jumlahnya terus berkurang dan kini tinggal Pertamina dan Aneka Kimia Raya (AKR).
Mengapa hal ini terjadi, padahal pasar BBM subsidi bersifat terikat dan mendapat insentif untuk membangun infrastruktur. Hanya AKR yang memanfaatkannya dan kini ada di Medan, Lampung, Merak, Pontianak, Banjarmasin, dan Manado. Lain halnya dengan Shell, Total, Petro Andalas, dan Patra Niaga yang bisa hidup karena juga menguasai rantai pasokan BBM. Setelah 10 tahun berjalan, sekalipun ada 200 badan usaha, target pembukaan pasar BBM dalam negeri ternyata gagal.
Hal ini terjadi karena, pertama, hanya beberapa badan usaha yang aktif dan pangsa pasar Pertamina masih sangat besar. Kedua, layanan BBM sepeda motor, yang populasinya melebihi 100 juta buah, terabaikan. Maka hadirlah usaha Pertamini, yang kini jumlahnya mencapai 20 ribu unit di bawah koordinasi beberapa asosiasi di seluruh Indonesia. Manfaatnya dirasakan masyarakat, tapi belum memperoleh legalitas, sumber BBM tidak jelas, dan harga bervariasi.
Ketiga, tidak ada badan usaha yang punya rencana bisnis untuk membangun infrastruktur BBM di wilayah terluar, terpencil, dan tertinggal, sehingga memaksa pemerintah mengeluarkan kebijakan BBM satu harga. Keempat, tidak ada penambahan infrastruktur yang signifikan dari badan usaha baru, terutama infrastruktur penyimpanan dan mata rantai pasok lainnya. Kelima, tidak terjadi perluasan sumber pasokan BBM. Hanya beberapa badan usaha yang melakukan impor, sedangkan yang lain melakukan pembelian antar-badan usaha.
Sebenarnya, kondisi seperti itu tidak aneh karena di negara mana pun, termasuk di literatur ekonomi energi, pasar BBM dalam negeri itu pada hakikatnya adalah pasar oligopoli. Di sana hanya bermain beberapa badan usaha. Karena itu, untuk membangun sosok hilir migas nasional ke depan, pemerintah perlu merestrukturisasi pasar BBM dalam negeri menjadi pasar oligopoli. Badan usaha bisa berfokus dan mempunyai kepastian dalam berinvestasi. Lima besar badan usaha bentukan pasar terbuka saat ini bisa ditetapkan menjadi pedagang besar (wholesaler), sedangkan yang lain melebur jadi pengecer, termasuk Pertamini. Kemudian, sebagai sebuah pasar oligopoli, perlu diawasi oleh sebuah badan pengatur. Pemikiran ini bisa menjadi bahan pertimbangan untuk penyusunan tata kelola hilir migas dalam revisi Undang-Undang Migas yang sedang dibahas DPR saat ini.