TEMPO.CO, Jakarta -
Bambang Budi Utomo*)
Elang laut terbang tinggi,
Melayang antar terjalnya batu.
Bangsa ini tak kan terbagi,
Hargai laut sebagai pemersatu.
Pengantar
“Pemerintah Republik Indonesia berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Demikian bunyi pembukaan UUD 1945. Inilah dasar hukum yang dipakai untuk mengatur masalah kelautan pemerintah Republik Indonesia sebagai konsekuensi sebagai negara yang wilayahnya mencapai 1,9 juta mil persegi dan terdiri dari 17.508 pulau. Di dalamnya berdiam 770 suku bangsa dengan corak budaya sendiri, serta 19 daerah hukum adat dan 726 bahasa.
Pada awal kemerdekaannya, pengaturan batas-batas teritorial Republik Indonesia masih mengacu pada Territiarle Zee en Maritime Kringen-Ordonantie 1939 (TZMKO 1939), yang dalam Pasal 1, ayat 1 ditetapkan bahwa batas-batas laut teritorial adalah selebar 3 mil dari pantai. Tentu saja pasal ini tidak sesuai bagi sebuah negara kepulauan, karena dalam sebuah negara kepulauan semua pulau serta laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang utuh.
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, pada tanggal 13 Desember 1957 pemerintah Republik Indonesia yang pada waktu itu berada di bawah Kabinet Djoeanda, mengeluarkan sebuah pernyataan ketentuan mengenai wilayah perairan Indonesia, yang dikenal dengan nama Deklarasi Djoeanda 1957. Isinya adalah: ”segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia. Lalu-lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia”.
Dalam pernyataan itu terkandung suatu konsepsi Nusantara, yang melahirkan konsekuensi bagi pemerintah dan bangsa Indonesia untuk memperjuangkan serta mempertahankannya hingga mendapat pengakuan internasional.
Dicermati dari sisi suku bangsa dan budaya, keberadaan laut bebas di antara pulau-pulau di Negara Republik Indonesia sangat janggal. Bagaimana pun penduduk antara satu pulau dengan pulau lainnya masih satu bangsa. Bagaimana mungkin sebuah negara yang berdaulat dipisah-pisahkan oleh laut bebas sebagai pembatasnya. Sejak awal kedatangan manusia di bumi Nusantara ini, pulau-pulau besar seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Irian telah dihuni manusia. Bahkan pulau-pulau kecil seperti Nusa Tenggara (dahulu disebut Kepulauan Sunda Kecil) juga telah dihuni. Beberapa penelitian arkeologi di Flores menemukan sisa-sisa kehidupan dari 80.000 tahun yang lalu.
Bangsa barat yang merantau menyebut tanah kelahirannya homeland atau motherland yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia lebih tepat dikatakan bumi pertiwi atau ibu pertiwi. Istilah ini mungkin berasal dari pemujaan kepada Dewi Kesuburan yang sifatnya universal. Meski nenek moyang bangsa Indonesia juga mengenal pemujaan kepada Dewi Kesuburan, untuk menyebut tanah kelahirannya akan lebih tepat dengan istilah tanah air mengingat bangsa Indonesia yang berbeda-beda suku bangsa mendiami pulau-pulau yang dikelilingi oleh laut dan selat.
Republik Indonesia merupakan negara kepulauan dengan beragam suku, bahasa, dan budayanya. Secara fisik antar satu budaya dan budaya lain dipisahkan oleh laut. Namun dari sisi kemaritiman pemisahan itu tidak pernah ada karena seluruh perairan yang ada di Nusantara adalah pemersatu yang mengintegrasikan ribuan pulau yang terpisah-pisah. Dalam proses perkembangannya tingkat integrasi dapat berbeda-beda baik secara geografis maupun secara politis, ekonomis, sosial dan kultural.
Di negara yang disebut Indonesia berdiam sebuah bangsa besar yang mendiami wilayah dan negara kepulauan, bangsa yang multikultur yang di dalamnya ada dua kelompok kehidupan, yaitu kelompok masyarakat yang mendiami wilayah pesisir dan kelompok masyarakat yang mendiami wilayah pedalaman. Secara sadar atau tidak, kedua kelompok masyarakat ini hidup dalam sebuah ketergantungan akan laut. Semuanya itu kembali pada konsep hidup dan kesadaran ruang hidup yang berasal dari heterogenitas tadi. Kemudian dalam sejarahnya, juga tercatat antagonis hasrat untuk saling mengendalikan dari kedua kelompok besar itu sendiri. Kelompok yang tinggal di darat berusaha untuk mengendalikan pesisir dengan segala upaya untuk mendapatkan hasil dari laut, dan juga sebaliknya.
Laut adalah ajang untuk mencari kehidupan bagi kedua kelompok masyarakat. Dari laut dapat dieksploitasi sumber daya biota dan abiota, serta banyak kegiatan kemaritiman yang menjanjikan dan memesona. Inilah yang mendorong kedua kelompok masyarakat itu menuju laut. Pada mulanya bertujuan mencari hidup dan mempertahankan hidup, pada akhirnya bertujuan mengembangkan kesejahteraan, atau dengan kata lain membangun kejayaan dan kekayaan dari kegiatan kemaritiman. Fenomena ini pada akhirnya membentuk karakter bangsa pelaut, seperti lahirnya Kadtuan rwijaya, Kerajaan Mlayu, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Makassar.
Laut memang merupakan media pemersatu karena melalui laut orang dari berbagai bangsa melakukan interaksi dengan berbagai macam aktivitas. Melalui laut orang dari berbagai bangsa menjalankan aktivitas perekonomian melalui “jasa” pelayaran antar benua atau antar pulau. Sejak awal tarikh Masehi, laut Nusantara telah diramaikan oleh kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia. Dengan sarana transportasi air itu, komoditi perdagangan dibawa dari satu tempat ke tempat lain untuk diperdagangkan.
Wawasan Nusantara adalah konsep politik bangsa Indonesia yang memandang Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah, meliputi tanah (darat), air (laut) termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya dan udara di atasnya secara tidak terpisahkan, yang menyatukan bangsa dan negara secara utuh menyeluruh mencakup segenap bidang kehidupan nasional yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan. Inilah cara pandang bangsa Indonesia dalam memandang tanah air tempat kelahirannya yang akhir-akhir ini sudah mulai dilupakan oleh anak-anak bangsa. Memang kita tidak boleh lupa daratan, tetapi kita juga tidak boleh lupa laut. Sejarah bangsa ini sesungguhnya dimulai dari laut. Segala aktivitas kehidupan bangsa ini sejak awal penyebaran penghuni Nusantara terjadi di laut.
- Moyang Gue
Kepulauan Indonesia mempunyai posisi yang strategis. Tidak saja karena berada di antara Benua Asia dan Benua Australia, tetapi juga karena kepulauan ini terletak di antara Samudra Pasifik dan Samudra Indonesia. Posisi ini membuat Kepulauan Indonesia menjadi tempat persilangan budaya dalam pergaulan antar bangsa di kawasan ini. Bahkan, di jaman purba kawasan ini menjadi daerah perambahan yang menantang manusia untuk menjelajahinya. Ketika permukaan air laut turun, pada jaman es, pulau-pulau di kawasan barat bergabung dengan daratan Asia menjadi Paparan Sunda, sedangkan di kawasan timur Pulau Irian dan Aru bergabung dengan daratan Australia menjadi Paparan Sahul. Di antara dua daratan luas itu, terdapat Zona Wallacea yang ditempati oleh Pulau Sulawesi dan pulau-pulau kecil lainnya yang kini termasuk wilayah Maluku dan Nusatenggara.
Sepanjang sejarah, Zona Wallacea tidak pernah bergabung dengan Paparan Sunda maupun Paparan Sahul, dan selalu dikelilingi oleh lautan dalam. Karena itu, kawasan ini sering dianggap sebagai “penghalang” persebaran manusia purba. Namun, hasil penelitian arkeologis di Zona Wallacea menunjukkan kawasan ini ternyata telah dihuni oleh manusia purba sejak sekitar 800.000 tahun yang lalu, sebagaimana dibuktikan dengan temuan alat-alat batu purba bersama-sama dengan fosil gajah purba, Stegodon kerdil di Flores. Temuan ini sekaligus memastikan bahwa pada kala itu manusia purba Homo erectus di Indonesia telah mempunyai kemampuan melintasi laut-laut di antara pulau-pulau hingga tiba di Flores. Diduga, Homo erectus telah mampu menyeberangi selat antarpulau.
Orang-orang yang lebih awal menghuni Nusantara tersebut, diduga bukan nenek-moyang Bangsa Bahari yang sekarang tinggal di Nusantara. Kemudian, siapa sebenarnya yang dikatakan nenek-moyang Bangsa Bahari ini? Sebagian orang beranggapan bahwa orang-orang yang bertutur bahasa Austronesia-lah nenek moyangnya. Austronesia adalah istilah yang dipakai oleh pakar linguistik untuk keluarga bahasa yang berkembang di Taiwan antara 5000-7000 tahun yang lampau.
Di Taiwan orang-orang ini mengembangkan teknik-teknik pertanian dari Tiongkok Selatan, beradaptasi dengan lingkungan pulau, dan secara perlahan “belajar” menyeberangi selat. Sejak sekitar Milenium ke-3 SM, mereka mengembara ke arah selatan menuju Filipina. Di tempat ini mereka membawa dan mengembangkan teknik perladangan berpindah, pembuatan alat transportasi air, dan pembuatan barang-barang tembikar. Pada akhirnya mereka membentuk sub-rumpun bahasa Melayu-Polynesia.
Menjelang milenium pertama Sebelum Masehi, para penutur rumpun bahasa Melayu-Polynesia barat sudah mencapai pesisir Indocina (Champa), Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Sumatra. Pada periode berikutnya, secara berkesinambungan mereka sudah berlayar jauh hingga ke Madagaskar di pantai timur Afrika. Akibat berhubungan secara berkesinambungan, kemudian tumbuh budaya Melayu-Polynesia Barat (Malagasy) dan berkembang secara mandiri.
Kelompok penutur yang menyebar ke arah timur membentuk rumpun bahasa Melayu-Polynesia Timur. Perkembangannya di daerah pantai-pantai kawasan timur Nusantara, seperti Halmahera dan pantai utara Irian. Dari tempat ini kemudian diteruskan sampai ke seluruh penjuru Pasifik, Tonga, Samoa, Hawaii, dan yang terjauh Selandia Baru.
Populasi orang-orang penutur bahasa Austronesia menempati wilayah dari Madagaskar di barat hingga Easter Island di timur, dan dari Taiwan di utara hingga Selandia Baru di selatan. Benang merah yang menyatukan mereka adalah teknik bercocok-tanam, teknik pembuatan perahu, dan teknik pembuatan tembikar. Itulah nenek moyang bangsa bahari.
- Kerajaan Maritim
Sejarah Bangsa Indonesia ditandai dengan sejarah maritim yang dimulai dari kawasan barat Nusantara hingga ke kawasan tengah dan timur Nusantara. Semua kerajaan itu langsung atau tidak langsung menyadari bahwa “halaman” mereka adalah laut, dan “rumah” mereka adalah pulau. Karena itulah mereka perlu membangun suatu kekuatan laut dengan menitik beratkan pada moda transportasi laut/air. Dan mereka juga menyadari bahwa antara halaman dan rumah harus disatukan. Dengan cara mereka sendiri usaha-usaha penyatuan itu dilakukan, baik melalui peraturan yang menggambarkan kedaulatan di laut, maupun dengan menjalin persahabatan dengan kerajaan lain di seberang laut.
- Kadtuan rwijaya dan Matarm
“Pada hari ketujuh paro-terang bulan Jyestha Dapunta Hiyang bertolak dari Minanga sambil membawa dua laksa tentara dengan perbekalan sebanyak dua ratus (peti) berjalan dengan perahu dan yang berjalan kaki sebanyak seribu tiga ratus dua belas datang di Mukha --p- dengan sukacita.” Itulah sepenggal kalimat dari Prasasti Kedukan Bukit yang bertanggal 16 Juni 682 Masehi mengindikasikan bahwa rwijaya mempunyai kekuatan laut yang kuat.
Sumber lain yang menyebutkan kekuatan rwijaya ada di laut diperoleh dari Berita Tionghoa dan Berita Arab. Disebutkan bahwa kerajaan ini menguasai lalu-lintas perdagangan dan pelayaran dari kerajaan-kerajaan barat ke Tiongkok dan sebaliknya. Hal ini disebabkan karena rwijaya menguasai Selat Melaka yang banyak dilalui oleh kapal-kapal niaga dari Tiongkok, India, Persia, dan Arab. Beberapa pelabuhan penting di sekitar Selat Melaka dikuasai rwijaya. Pada suatu masa rwijaya mengeluarkan peraturan bahwa kapal-kapal niaga asing yang melakukan aktivitas perdagangan di wilayah perairannya harus menggunakan kapal rwijaya.
Dengan demikian, kapal-kapal niaga yang datang dari Tiongkok, India, maupun Persia/Arab harus memindahkan barang dagangannya di pelabuhan rwijaya ke kapal milik rwijaya. Sebuah kapal yang diketahui teknik pembuatannya, mengindikasikan kapal rwijaya yang sarat dengan muatan dari berbagai tempat di luar Nusantara.
ailendra adalah satu keluarga yang pernah berkuasa di bagian tengah Tanah Jawa di Kerajaan Matarm pada sekitar abad ke-8-9 Masehi. Diduga keluarga ini berasal dari Tanah Andalas yang datang ke Tanah Jawa pada sekitar pertengahan abad ke-8 sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Sojomerto.
Prasasti Sojomerto adalah sebuah prasasti berbahasa Melayu Kuno yang ditemukan di daerah selatan Pekalongan. Prasasti ini menyebutkan Dapunta Selendra beserta istri dan keluarganya. Diduga kuat bahwa Dapunta Selendra adalah pendiri dinasti yang datang dari Sumatera. Setelah mereka berkuasa di Kerajaan Matarm, prasasti-prasasti yang dikeluarkannya berbahasa Jawa Kuno.
Raja-raja dari dinasti Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Matarm banyak membangun bangunan suci di daerah Jawa Tengah. Bangunan-bangunan tersebut antara lain Kalasan, Borobudur, Mendut, Pawon, Sewu, Plaosan dan Prambanan. Sewu, Plaosan, dan Borobudur merupakan sebuah kompleks bangunan suci ajaran Buddha, sedangkan Prambanan adalah kompleks bangunan suci ajaran Hindu. Dilihat dari ukuran dan jumlahnya, bangunan suci ajaran Buddha lebih banyak jika dibandingkan dengan bangunan suci ajaran Hindu. Keadaan ini mengindikasikan bahwa keluarga Sailendra menganut ajaran Buddha, atau dengan kata lain ajaran Buddha merupakan ajaran yang dianut oleh sebagian besar rakyat Matarm.
Raja-raja dari keluarga ailendra tidak hanya berpengaruh di Tanah Jawa saja. Mereka diketahui juga berpengaruh di Tanah Andalas, di Thailand selatan (Nakhonsritammarat), dan di India utara (Nlanda, Bihar). Pada masa pemerintahan Rakay Panamkaran, ia membangun Trisamaya Chaitya di Thailand selatan sebagaimana diberitakan dalam Prasasti Ligor (abad ke-8 Masehi).
Cucu dari Panamkaran yang berkuasa di rwijaya yang bernama Blaputra(dewa) diketahui membangun asrama dan wihra serta memberikan tanah-tanah perdikan untuk kelangsungan hidup para siswa rwijaya yang belajar di Nlanda (India). Informasi ini disebutkan dalam Prasasti Nlanda (abad ke-9 Masehi) yang dikeluarkan oleh Raja Dewapaladewa dari India.
Kerajaan Matarm sebagian besar pendapatannya diperoleh dari hasil-hasil pertanian, terutama padi. Ibukota atau pusat pemerintahannya terletak di daerah yang subur di lembah Sungai Progo dan Elo yang diapit oleh rangkaian gunungapi Merapi-Merbabu dan Sumbing-Sindoro.
Meskipun demikian, hal-hal kebaharian juga turut diperhatikan sebagaimana yang tergambar dalam relief perahu/kapal di Stpa Borobudur. Dalam relief tersebut digambarkan sebuah kapal besar dengan cadik yang biasa dipakai untuk melayari samudra. Ada juga perahu-perahu yang dipakai untuk melayari sungai. Dengan demikian, tidak heran apabila pengaruh ailendra ditemukan di tempat-tempat yang jauh dari wilayah kekuasaannya di Tanah Jawa.
- Kerajaan Sihasri
Kerajaan lain yang mempunyai kekuatan laut setelah rwijaya adalah Kerajaan Sihasri. Kerajaan ini berhasil menguasai sepertiga bagian Nusantara ketika Mahrja Krtangara naik tahta kerajaan (1254-1292 Masehi). Pada awal pemerintahannya ia menundukkan pemberontakan Cayaraja. Kemudian tahun 1275 ia mengirim ekspedisi persahabatan dengan Kerajaan Mlayu (Pamalayu), 1280 kembali menumpas pemberontak Mahisa Rangkah, dan 1284 menundukkan Bali. Dalam Kakawin Ngarakrtgama disebutkan menaklukan Pahang dan Gurun di Semenanjung Tanah Melayu, serta Tanjupura di Kalimantan dan beberapa tempat di sebelah timur Nusantara.
Tindakannya untuk meluaskan maala (wilayah) keluar Tanah Jawa didorong oleh ancaman dari daratan Tiongkok. Pada sekitar tahun 1260 Khubilai Khan dari Kerajaan Mongol yang sudah menguasai Kekaisaran Tiongkok menunjukkan gelagat akan memperluas maala ke arah selatan keluar dari maala Tiongkok hingga meyeberangi lautan. Pada tahun 1280 Khubilai Khan mendirikan Dinasti Yan. Segera ia memulai ambisinya dengan perintah pengakuan kekuasaan dari negara-negara yang sebelumya mengakui kekuasaan kaisar Tiongkok dari Dinasti Song.
Jawa tidak luput dari rencana besar Khubilai Khan. Utusan yang membawa pesan supaya raja Jawa mau tunduk kepada Kaisar mulai datang pada tahun 1280 dan 1281. Tuntutannya agar raja Jawa mengirimkan seorang pangeran ke Tiongkok sebagai tanda tunduk kepada kekaisaran dinasti Yan.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa persatuan dapat terwujud apabila ada ancaman dari luar. Beberapa puluh tahun sebelum Mahpatih Gajah Mada bersumpah, Mahrja Krtangara dari Kerajaan Sihasri juga berniat menyatukan Nusantara. Hal ini dianggap penting untuk menghadapai ancaman serangan Kekaisaran Mongol. Prasasti yang dipahatkan pada bagian belakang arca Camui yang dikeluarkan oleh Mahrja Krtangara terkandung gagasan perluasan cakrawala maala ke luar pulau Jawa yang meliputi daerah seluruh dwipntara. Gagasan ini mulai diwujudkan pada tahun 1270 Masehi. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa arca
Bhaari Camui itu ditahbiskan pada waktu r Mahrja Krtangara menang di seluruh wilayah dan menundukan semua pulau-pulau yang lain.
- Kerajaan Majapahit
Sihasri runtuh bukan karena serbuan tentara Khubilai Khan, melainkan karena serangan dari Jayakatwang (raja bawahan yang memberontak). Setelah Sihasri runtuh, kemudian di bagian timur Tanah Jawa di sekitar Sungai Brantas berdiri Kerajaan Majapahit. Kerajaan ini berjaya pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dengan Patihnya Gajah Mada. Majapahit pada dasarnya adalah kerajaan agraris, namun kerajaan ini tidak mengesampingkan kekuatan laut dengan panglimanya yang terkenal yaitu Mpu Nala.
Babad Lasm merupakan salinan dari isi sebuah babad bernama Pustaka Badrasanti yang ditulis oleh Kamzah, seorang bangsawan Lasm yang hidup tahun 1825. Dalam babad ini disebutkan beberapa nama pemukiman masa Bhre Lasm (salah seorang bangsawan Majapahit) memerintah pada tahun 1273 aka. Tempat-tempat tersebut antara lain Kaeringan, Teluk Regol, Keraton Kryan, Bonang-Binangun, dan beberapa tempat keagamaan.
Kaeringan merupakan se¬buah pelabuhan yang telah ada sejak masa Dewi Indu (Bhre Lasm, r Rajasadu¬hitendu¬dewi) berkuasa. Suaminya, Rajasa¬warddha¬na (Bhre Mata¬hun) disebut¬kan menguasai junk-junk pe¬rang yang berada di pelabuhan ini. Sampai awal masuknya Islam di pantai utara Jawa, Kaeringan masih ber¬fungsi sebagai pelabuhan. Dari masa ini disebutkan bahwa Pangeran Santikusumo ketika berusia 18 tahun, naik perahu dari tempat ini menuju Tuban, pelabuhan lain yang telah ada sejak abad ke-11 Masehi.
Kakawin Ngarakrtgama dan beberapa prasasti dari jaman Majapahit menginformasikan tentang struktur kewilayahan kerajaan dan hubungannya dengan tempat-tempat lain di Nusantara dan Asia Tenggara. Kerajaan Majapahit pada masa Hayam Wuruk wilayahnya terdiri dari sebagian Jawa Tengah, seluruh Jawa Timur, Madura, dan Bali. Di luar dari wilayah itu adalah Lombok dan sebagian Sumbawa. Meliputi 21 negara daerah yang dipimpin oleh Paduka Bhaara. Di luar negara daerah itu merupakan desantara kacayya, yaitu daerah-daerah di Nusantara dari Sumatera hingga Papua yang dilindungi oleh Raja Majapahit. Daerah-daerah ini tergabung dalam kerjasama regional, dan bukan merupakan daerah kekuasaan Majapahit.
Sebagai terimakasih karena telah dilindungi, daerah-daerah ini mengirimkan upeti (tribute).
Selain ada desantara kacayya, ada juga negara yang mempunyai kedudukan sejajar dengan Majapahit. Negara-negara itu disebut mitra satata yang terdiri dari beberapa kerajaan di Asia Tenggara daratan, seperti Semenanjung Tanah Melayu, Siam, Khmer, dan Champa.
- Kerajaan Makassar
“Tuhan telah menjadikan bumi dan laut; bumi dibagi di antara umat manusia dan laut diberikan secara umum. Tidak pernah terdengar seseorang dilarang berlayar di laut. Jika Anda melakukan itu berarti Anda merampas makanan dari mulut seseorang”.
Kerajaan Gowa yang kemudian di abad ke-17 lebih dikenal dengan Kesultanan Makassar, adalah sebuah kerajaan di Nusantara yang memegang peranan penting selama 2 abad, sepanjang abad ke-16 – 17 di Indonesia bagian timur.
Kerajaan Gowa atau Kesultanan Makassar semula merupakan negeri-negeri kecil yang berupa kumunitas lokal bernama Kasuwiang. Ada sembilan daerah/Kasuwiang yang menjadi cikal-bakal kesultanan Makassar, yaitu Tombolo, Lakiung, Saumata, Parang-parang, Data, Agang Jekne, Bisei, Kalling, dan Sero. Kesembilan negeri-negeri kecil tersebut membentuk sebuah federasi yang diketuai oleh seorang yang dise¬but Paccallaya. Paccal¬laya berperan sebagai Primus Interpares. Ka¬rena ia tidak saja menjadi ketua dari gabungan negeri-negeri kecil itu, tetapi juga sebagai hakim yang menyelesaikan seng¬keta di antara mereka dan juga sebagai orang tua yang sangat dihormati.
Pada sekitar abad ke-16, Gowa kemudian bersatu dengan Tallo dan membang¬un benteng Somba Opu yang menjadi pusat kota Makassar. Kota Makassar menjadi besar dengan popu¬lasi sekitar 100.000 jiwa. Pada masa itu Makassar tidak hanya berhubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara saja, tetapi juga dengan Melaka, Siam, Pegu (Myanmar), dan Filipina. Dengan kejatuhan Melaka tahun 1511 ke tangan Portugis, banyak orang dari Melaka, Johor, Pahang dll yang menyingkir dan kemudian menetap di Makassar.
Para penguasa Kerajaan Gowa-Tallo sudah melihat ancaman musuh. Untuk mengantisipasinya mereka membangun sembilan benteng di sepanjang pantai barat. Termasuk di antaranya Benteng Ujungpandang yang letaknya sangat strategis. Di kemudian hari, benteng ini setelah dikuasai Belanda dibangun kembali dan dinamakan Fort Rotterdam.
Pada masa itu, seorang ula¬ma dari Sumatra Barat tiba di Makassar dan sekaligus mengislamkan Raja Gowa ke-14, I-Mangngarangi Daeng Manrabia dengan gelar Sultan Alaudin. Sultan Alauddin (1593-1639) bersama Karaeng Matoaya (Mangkubumi) memperluas pengaruh dan wilayah melalui penyebaran agama Islam. Usaha perluasan pengaruh dan wilayah ini dilanjutkan oleh Sultan Muhammad Said, Raja Gowa ke-15 (1639-1653). Kerajaan Makassar mencapai puncak kejayaannya pada pertengahan abad ke-17. Supremasi dan dominasi Makassar meliputi selu¬ruh bagian tengah Nusantara, yaitu seluruh Sulawesi, Berau dan Kutai (Kalimantan Timur), dan Nusa¬tenggara. Bali tidak termasuk dalam perluasan pengaruh ini, karena terikat perjanjian persahabatan antara keduanya, “Marege” (Australia Utara) dan pulau-pulau Tanimbar (Maluku Tenggara). Kejayaan kerajaan Gowa-Tallo berakhir ketika masa pemerintahan Sultan Hasanuddin Raja Gowa ke-16 (1653-1670).
- Aturan di Laut dan Pesisir
Sejarah Bangsa Indonesia mencatat bahwa kerajaan-kerajaan bahari di Nusantara pada masa jayanya pernah mengeluarkan semacam undang-undang (tertulis) yang berisikan tentang pengaturan aktivitas di laut. Beberapa kerajaan di Bali dengan prasasti-prasastinya yang berisi tentang aturan kapal-kapal yang berniaga di wilayah yuridikasinya, Kerajaan Makassar telah mengeluarkan etika pelayaran dan perdagangan yang masa berlakunya cukup lama.
- Bali dengan Aturan di Laut
Pada umumnya orang Bali dikenal sebagai petani yang hidup di kerajaan agraris di lingkungan alam yang berbukit-bukit. Karena itulah Bali dikenal dengan areal sawahnya yang bersengked-sengked dan organisasi Subak-nya yang mengatur pengairan sawah. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Ternyata sejak abad ke-10 Masehi, masyarakat di Bali sudah mempunyai aturan yang berkenaan dengan transportasi di laut sebagaimana tersurat dalam prasasti yang ditemukan di Desa Sembiran. Mungkin karena letak desa tersebut di daerah pantai utara Bali, hal yang berkenaan dengan sawah tidak disebutkan.
Di Pura Balai Agung Desa Julah (Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali) disimpan 20 lembar tamra prasasti (prasasti perunggu). Kemudian prasasti-prasasti tersebut tempat penyimpanannya dipisah, 11 lembar disimpan di Desa Julah, dan 9 lembar lainnya disimpan di Pura Balai Agung Desa Sembiran (Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng). Kalau dilihat dari isinya, lempeng prasasti-prasasti tersebut merupakan satu kesatuan, meskipun yang mengeluarkannya berbeda raja. Isinya memberitakan tentang masalah-masalah keamanan yang ada di desa Julah dan Sembiran dalam kurun waktu yang panjang (923-1181 Masehi). Secara umum keseluruhannya merupakan petikan Sejarah Bali Kuno dari masa pemerintahan Ratu Ugrasena (24 januari 923 Masehi) hingga Raja Jaya Pangus ( 22 Juli 1181 Masehi)
Prasasti Julah-Sembiran Masa Pemerintahan Ratu Ugrasena.
Pada tahun aka 844 (24 Januari 923 Masehi) Sang Ratu Sri Ugrasena bersama-sama para pejabat tinggi kerajaan mengadakan sidang dengan para Penghulu Desa Julah bertempat di pendapa Istana Singhamandewa. Dalam perundingan itu diutarakan bahwa penduduk Desa Julah sangat gaduh, gelisah resah, dan ketakutan, karena adanya kawanan perampok yang sering menangkap dan menculik penduduk desa Julah. Karena keadaan itulah banyak penduduk Desa Julah lari mengungsi ke tempat-tempat yang lebih aman. Peristiwa itulah yang dibicarakan dalam perundingan yang diadakan oleh Sang Ratu Ugrasena.
Hasil kesepakatan yang keluar sebagai titah raja adalah: Semua penduduk Desa Julah yang masih ada di tempat-tempat pengungsian harus segera kembali ke Desa Julah dan tinggal di tempat semula. Juga Sang Ratu Ugrasena membuat peraturan-peraturan upacara untuk orang-orang yang mati dirampok, mati terbunuh, di samping peraturan-peraturan untuk upacara kematian biasa. Dengan adanya kejadian itu pajak-pajak penghasilan masyarakat Desa Julah yang biasanya dipungut oleh raja kini semuanya dihapus, kecuali iuran untuk biaya upacara di dalam pura masih tetap berlaku.
Selanjutnya diputuskan juga bahwa penduduk Desa Julah dilarang menangkap atau menculik budak-budak milik orang lain. Dan jika ada sebuah perahu atau sampan yang terdampar di laut, maka isi perahu itu harus menjadi hak milik pura atau dimanfaatkan untuk keperluan desa. Batas-batas desanya pun telah ditetapkan di dalam undang-undang Raja Ugrasena.
Prasasti Julah-Sembiran Masa Pemerintahan Anak Wungsu.
Pada tahun aka 987 (10 Agustus 1065 Masehi), para pemimpin dan penghulu Desa Julah, Desa Widatar, Desa Keduran, Desa Pasuruhan dan Desa Pasungan menghadap Sri Paduka Aji Anak Wungsu hendak berunding untuk membuat undang-undang Desa Julah yang baru.
Adapun keputusan-keputusan dalam perundingan itu antara lain: kalau ada saudagar-saudagar yang memakai perahu dari tanah seberang hendak ke Pura Menasa (pura ini berada di sebelah timur Desa Sinabun) tiba-tiba perahunya rusak di laut, maka sekalian penduduk Desa Julah harus membantunya. Apabila dengan tiba-tiba ada musuh yang hendak menyerbu penduduk yang ada di pesisir, maka sekalian penduduk Desa Julah harus segera keluar serta membawa senjata yang selengkapnya untuk memerangi pengacau itu. Segala pajak dikenakan pada tontonan, dan sekeha pesantian (semacam pesinden). Prasasti ini ditutup dengan sumpah dan kutukan. Undang-undang ini dibuat diistana oleh juru tulis istana yang bernama Bajarangsa.
Pada jaman Anak Wungsu memerintah di Bali, Jawa (Timur) diperintah oleh raja Kadiri yang bergelar Sri Semara Utsaha Ratna Sangka. Rupa-rupanya dari tahun 1065 – 1181 Masehi keadaan Desa Julah dan sekitarnya sudah agak tentram dan aman, walaupun sebagian penduduknya sudah pindah ke tempat lain.
Hukum Adat Tawan Karang
Sejak abad ke-18-19 di Bali terdapat banyak kerajaan yang berdiri sendiri. Beberapa di antaranya kerajaan tersebut wilayahnya berbatasan dengan laut. Raja-raja yang wilayahnya berbatasan dengan laut membuat kesepakatan hukum adat yang disebut Tawan Karang. Hukum ini berlaku apabila tiap kapal asing yang terdampar, kapal beserta isinya menjadi hak milik penguasa Bali.
Pada tahun 1844, kapal Belanda terdampar di Pantai Sangsit yang termasuk wilayah Kerajaan Buleleng. Kapal dan isinya disita dan kelasinya ditawan. Belanda kemudian mengirim Asisten Residen dari Banyuwangi yang bernama Ravia de Lignij untuk membuat perjanjian yang isinya penghapusan hukum Tawan Karang dan sekaligus pengakuan terhadap kekuasaan Belanda.
Namun, raja I Gusti Ngurah Made dan Patih I Gusti Jelantik Gungsir menolak. Sebagai konsekuensinya pihak Belanda mengirimkan segenap pasukan menyerbu Buleleng. Rupa-rupanya Kerajaan Buleleng tidak mudah ditaklukan. Belanda kemudian mengirimkan pasukan sebanyak 3 kali, yaitu tahun 1846, 1848, dan 1849.
Pada tahun 1849, rakyat Bali di bawah pimpinan I Gusti Jelantik melakukan perang puputan (habis-habisan). Tahun 1906, Belanda menyerang dan menguasai Kerajaan Badung yang masih melaksanakan hukum adat Tawan Karang. Raja dan rakyat Kerajaan Badung yang berpakaian serba putih dengan menggunakan senjata seadanya melakukan pertempuran habis-habisan melawan Belanda. Demikianlah rakyat Bali mempertahankan tanah-airnya.
- Amanna Gappa
Sejak dahulu sukubangsa Bugis-Makassar dikenal sebagai pelaut yang tangguh. Mereka telah mampu berlayar ke seluruh pesisir Asia Tenggara, Australia utara, dan Madagaskar di Afrika. Ketika melakukan pelayaran, di kapal sering terjadi konflik atau sengketa antar pelaut dan penumpang. Untuk itu perlu ada aturan yang mengatur tentang perilaku orang-orang di kapal, hubungan antara saudagar dan pelaut, penempatan barang di kapal, dan tentang kepemilikan muatan kapal, hingga nasib muatan kapal apabila terjadi bencana topan.
Amanna Gappa adalah seorang yang berpengaruh di kelompok masyarakat Bugis-Wajo. Ia dikatakan seorang tokoh yang berinisiatif mengumpulkan naskah-naskah lontara tentang aturan pelayaran dan perdagangan di kawasan Sulawesi Selatan dan Tenggara. Kelompok masyarakat Wajo adalah kelompok masyarakat yang dinamis dan suka mengembara tetapi tidak suka bertani. Mereka mengembara ke berbagai tempat di Nusantara dan Semenanjung Tanah Melayu.
Kelompok masyarakat ini ada di pelabuhan-pelabuhan penting di kedua daerah itu. Pada abad ke-17 kelompok masyarakat ini sudah bermukim di pelabuhan-pelabuhan Ambon, Banjarmasin, Palembang, Johor, dan Melaka, namun keberadaan mereka belum terorganisir dengan seorang kepala yang memimpin komunitas.
Salah satu pelabuhan penting di Nusantara dan kemudian menjadi tempat berkumpulnya orang Wajo adalah pelabuhan Makassar. Kian hari jumlah orang Wajo kian banyak dan kepentingan mereka dalam pelayaran dan perdagangan semakin mendesak. Karena itulah diperlukan seorang pemimpin yang dapat memfasilitasi kepentingan mereka. Pemimpin atau kepala dalam bahasa Bugis matoa, yang berarti “kepala”. Berdasarkan persyaratan-persyaratan yang berat, terpilihlah Amanna Gappa sebagai seorang Matoa yang tugasnya adalah mengorganisir kelompok masyarakat Bugis-Wajo. Pada waktu itu, Amanna Gappa adalah seorang Matoa yang ketiga. Boleh jadi ia adalah Matoa pertama yang menyadari bahwa pelayaran dan perdagangan adalah mata pencaharian utama bagi orang Bugis-Wajo.
Pada tahun 1670-an, di Makassar berkumpul para Matoa dari berbagai tempat, seperti dari Lombok, Sumbawa, dan Paser (Kalimantan Selatan). Mereka membicarakan aturan-aturan dan tata tertib yang harus dipatuhi dalam pelayaran dan perdagangan. Perundingan ini dipimpin oleh Amanna Gappa, Matoa Wajo, sehingga tradisi pelayaran yang lahir dari perundingan ini disebut “hukum pelayaran dan perdagangan” Amanna Gappa. Peraturan ini ditulis dalam bahasa Bugis pada 18 lontara dan dikenal dalam bahasa Bugis sebagai “Ade allopi loping bicaranna pa’balu baluE”, yang artinya kira-kira “Etika pelayaran dan perdagangan”. Peraturan etika ini lahir pada tahun 1676.
Amanna Gappa terdiri dari 21 pasal, beberapa pasal sangat rinci menjelaskan mengenai ketentuan-ketentuan dalam pelayaran. Antara lain, cara berdagang dalam pelayaran, susunan birokrasi di kapal, syarat-syarat untuk menjadi nakhoda, pembagian petak untuk menempatkan barang dagangan dalam kapal, serta empat tingkatan orang di kapal, yaitu sawi tetap (kelasi tetap), sawi loga (kelasi bebas), sawi manumpang (kelasi menumpang), dan tommanumpang (orang yang menumpang kapal).
Amanna Gappa lebih cenderung menganut konsep kebebasan berlayar di laut tetapi dengan etika. Lebih lanjut, Hukum Amanna Gappa juga telah mengatur hak dan kewajiban pemilik kapal dan anak buah kapal. Konsep-konsep “kepemilikan” laut kemudian diadopsi oleh hukum laut modern, yang dapat ditemukan dalam sejumlah konvensi internasional. Dasar dari Hukum Amanna Gappa ini kemudian diadopsi di Eropa dan sampai saat ini dipakai sebagai Hukum Maritim Internasional.
- Pengetahuan Kebaharian
Entah sejak kapan nenek moyang bangsa Indonesia mengenal pembuatan perahu. Hanya sedikit data arkeologi maupun sejarah yang berhasil mengungkapkan tentang hal itu. Satu-satunya data arkeologi yang sedikit mengungkapkan teknologi pembangunan perahu adalah lukisan gua, seperti yang ditemukan di Gua Niah (Serawak) dan Pulau Muna (Sulawesi Tenggara). Di situ dapat dilihat bagaimana bentuk perahu pada masa prasejarah, yang pada masa itu dapat dikatakan masih sangat sederhana seperti halnya perahu pada masyarakat sederhana masa kini. Sebatang pohon yang mempunyai garis tengah batang cukup besar ditebang, kemudian bagian tengahnya dikeruk dengan menggunakan alat sederhana, misalnya beliung dari batu.
Tampaknya mudah, tetapi dalam kenyataannya cukup sulit. Dinding perahu harus dapat diperkirakan tebalnya, tidak boleh terlampau tebal atau terlampau tipis. Badan perahu tidak boleh mudah pecah atau bocor apabila terantuk karang atau kandas di pantai yang keras. Apabila bentuk dasar sudah selesai, barulah diberi cadik di sisi kiri dan kanan badan perahu. Perahu jenis ini dinamakan perahu lesung atau sampan, panjangnya kira-kira 3-5 meter dan lebar sekitar 1 meter.
Berdasarkan pada data arkeologis, temuan-temuan berupa penggunaan perahu banyak ditemukan dalam bentuk visual baik berupa goresan, pahatan, lukisan, relief dalam bentuk dua dimensi atau dalam bentuk tiga dimensi atau perahu itu sendiri sebagai sejarah dari perkembangan pola hidup nelayan. Beberapa data di jaman prasejarah yaitu pada masa belum mengenal tulisan bagi keseluruhan masyarakat di Indonesia, ini dihitung mulai masa perkembangan awal, masa batu tua (paleolitik), masa batu tengah (epipaleolitik) atau masa batu muda (neolitik) bahkan masa perkembangan keahlian penuangan logam (masa perunggu besi).
Data lainnya lagi berkenaan dengan perahu ditemukan di sepanjang teluk Seleman (Pulau Seram Utara) yaitu berupa lukisan-lukisan yang dicat dengan warna merah dan putih di gua-gua batu. Gambar-gambar atau lukisan perahu tersebut bersamaan dengan beberapa lukisan telapak tangan manusia dan cap tangan kidal. Berikutnya terdapat temuan di Pulau Kei Kecil pada sebuah ceruk di gua-gua pinggir laut dengan menggunakan cat warna merah beberapa gambar perahu, ikan, matahari dan muka manusia. Di tempat itu juga ditemukan sebuah gambar perahu yang dinaiki oleh beberapa orang yang memakai tutup kepala. Dan perahu lainnya yang digambarkan dengan menggunakan layar (atap) dengan bagian haluan dan buritan yang mencuat ke atas.
Lukisan perahu yang ditemukan di Pulau Kei ini mirip dengan temuan yang terdapat di Timor Leste (dahulu Timor Timur). Ruy Cinetti yang pada tahun 1963 melakukan penelitian di daerah ini mengatakan bahwa gambar perahu ditemukan bersama-sama dengan gambar manusia, binatang dan matahari. Di sini juga ditemukan sebuah gambar perahu yang berciri kora-kora.
Penggunaan perahu secara arkeologis tampaknya dimulai ketika pada masa neolitik atau pada masa tersebut dikenal dengan masa bercocok tanam. Temuan di beberapa tempat onggokan-onggokan sampah kerang atau kyokkenmödinger menunjukkan adanya pemanfaatan hasil laut untuk menambah mata pencaharian bagi manusia, dan menurut analisis pemanfaatan hasil laut menunjukkan adanya penggunaan alat transportasi dengan perahu. Analisis ini dibuktikan dengan adanya gambar-gambar di gua-gua hunian di daerah Sulawesi Selatan, dalam lukisan tersebut menggambarkan sebuah perahu yang sedang dikayuh oleh beberapa orang dengan cat warna merah. Di samping itu ada beberapa perahu yang tampak digambar menggunakan layar.
Pada zaman prasejarah, perahu bercadik memainkan peranan yang besar dalam hubungan perdagangan antarpulau di Indonesia dan antara kepulauan di Indonesia dengan daratan Asia Tenggara. Karena adanya hubungan perdagangan dengan Asia Tenggara daratan dan Tiongkok, terjadi tukar menukar informasi teknologi dalam segala bidang, misalnya dalam pembangunan candi, pembangunan kota, dan tentu saja pembangunan perahu. Di seluruh perairan Nusantara, banyak ditemukan runtuhan perahu yang tenggelam atau kandas. Dari runtuhan itu para pakar dapat mengidentifikasikan teknologi pembangunannya. Para pakar telah merumuskan teknologi tradisi pembangunan perahu berdasarkan wilayah budayanya, yaitu Wilayah Budaya Asia Tenggara dan Wilayah Budaya Tiongkok.
Perahu yang dibuat dengan teknologi tradisi Asia Tenggara mempunyai ciri-ciri khas, antara lain badan (lambung) perahu berbentuk seperti huruf V sehingga bagian lunasnya ber-linggi, haluan dan buritan lazimnya berbentuk simetris, tidak ada sekat-sekat kedap air di bagian lambungnya, dalam seluruh proses pembangunannya sama sekali tidak menggunakan paku besi, dan kemudi berganda di bagian kiri dan kanan buritan. Teknik yang paling mengagumkan untuk masa kini adalah cara menyambung papan. Selain tidak menggunakan paku besi, cara menyambung satu papan dengan papan lainnya adalah dengan mengikatnya dengan tali ijuk (Arenga pinnata).
Sebilah papan, pada bagian tertentu dibuat menonjol. Di bagian yang menonjol ini (disebut tambuko), diberi lubang yang jumlahnya 4 buah menembus ke bagian sisi tebal. Melalui lubang-lubang ini tali ijuk kemudian dimasukkan dan diikatkan dengan bilah papan yang lain. Di bagian sisi yang tebal, diperkuat dengan pasak-pasak kayu/bambu. Teknik penyambungan papan seperti ini dikenal dengan istilah “teknik papan ikat dan kupingan pengikat” (sewn-plank and lashed-lug technique).
Sisa perahu yang ditemukan di Samirejo dan Kolam Pinisi (keduanya di wilayah Palembang) serta di dasar laut perairan Cirebon, juga yang ditemukan di tempat lain di Nusantara dan negara jiran, memilik kesamaan umum yang dapat dicermati, yaitu teknologi pembuatannya. Teknologi pembuatan perahu yang ditemukan itu antara lain a) teknik ikat, b) teknik pasak kayu/bambu, c) teknik gabungan ikat dan pasak kayu/bambu, dan d) perpaduan teknik pasak kayu dan paku besi. Melihat teknologi rancang-bangun perahu tersebut, dapat diketahui pertanggalannya.
Bukti tertulis tertua yang berhubungan dengan penggunaan pasak kayu/bambu dalam pembuatan perahu/kapal di Nusantara berasal dari sumber Portugis awal abad ke-16 Masehi. Dalam sumber itu disebutkan bahwa perahu-perahu niaga orang Melayu dan Jawa yang disebut jung (berkapasitas lebih dari 500 ton) dibuat tanpa sepotong besi pun di dalamnya. Untuk menyambung papan maupun gading-gading hanya digunakan pasak kayu. Cara pembuatan perahu dengan teknik tersebut masih tetap ditemukan di Nusantara, seperti yang terlihat pada perahu-perahu niaga dari Sulawesi dan Madura yang kapasitasnya lebih dari 250 ton.
Dari sekian banyak perahu kuno yang ditemukan di perairan Nusantara, sebagian besar dibangun dengan teknik tradisi Asia Tenggara. Keturunan dari kapal-kapal yang dibangun dengan teknik tra¬disi Asia Tenggara adalah kapal Pinisi dan beberapa perahu tradisional di berbagai daerah di Nusantara. Pada perahu Pinisi, teknik papan ikat dan kupingan pengikat dengan menggunakan tali ijuk sudah tidak dipakai lagi. Para pelaut Bugis sudah menggunakan teknik yang agak modern, tetapi masih mengikuti teknik tradisi Asia Tenggara.
Dalam bukunya, Antonio Galvao pada tahun 1544 telah menguak tabir pembangunan perahu di kawasan timur Nusantara (daerah Maluku dan sekitarnya). Dia menguraikan antara lain teknik pembangunan kapal orang Maluku. Menurutnya, bentuk kapal orang Maluku yang menyerupai telur dengan kedua ujung dibuat melengkung ke atas dimaksudkan supaya kapal itu dapat berlayar maju dan mundur.
Kapal itu tidak dipaku atau didempul, tetapi diikat dengan tali ijuk melalui lubang yang dibuat di bagian lunas, rusuk, linggi depan, dan linggi belakang. Di bagian dalam terdapat bagian yang menonjol dan berbentuk cincin untuk tempat memasukkan tali ijuk pengikatnya. Papan-papan disambung dengan pasak kayu atau bambu yang dimasukkan pada lubang kecil di ujung depan. Sebelumnya, pada bagian sambungan papan diolesi dengan baru (semacam damar) agar air tidak dapat masuk. Kemudian papan-papan pun disambung berapit-apit dengan kemahiran tinggi, sehingga orang yang melihatnya akan mengira bahwa bentuk itu terbuat dari satu bilah papan saja. Pada bagian haluan kapal dibuat hiasan ular naga bertanduk.
- Suku Bangsa Bahari
Melihat pembagian wilayah di Nusantara, maka Nusantara dihuni oleh dua ras besar, yaitu Mongoloid dan Papuid. Ras Mongoloid menurunkan suku bangsa-suku bangsa Melayu, sedangkan ras Papuid menurunkan orang-orang Papua dan orang-orang yang tinggal di kawasan Nusatenggara Timur. Kedua ras tersebut menurunkan suku bangsa-suku bangsa bahari. Namun yang utama adalah Ras Mongoloid dengan bangsa Melayu-nya yang tangguh di lautan.
- Sukubangsa Lamalera
Berada di tepi pantai Laut Flores, masyarakat di Lamalera, Pulau Lembata (dahulu disebut Pulau Lomblen), Provinsi Nusa Tenggara Timur melakukan aktivitas penangkapan ikan paus dengan menggunakan peralatan serba tradisional. Peralatan dimaksud berupa layar, tali (yang dibuat dari benang kapas, daun gebang, dan serat kulit pohon waru), kafe yaitu tempuling atau harpoon, peledang (perahu) dari kayu, sampan, galah tempat menancapkan harpoon untuk menombak, alat untuk menggayung air, gentong air, maupun faye (alat untuk mendayung).
Di tempat itu musim perburuan ikan-ikan besar, seperti ikan paus, pari, dan hiu dari berbagai jenis oleh masyarakat disebut sebagai musim lefa atau yang lebih dikenal dengan nama olanua (mata pencaharian). Proses ritual olanua dimulai sejak 1 Mei hingga 31 Oktober. Dengan masuknya agama Katolik pada tahun 1886 di Lamalera, prosesi ritual tradisi ini mendapat bentuk baru dengan upaya inkulturasi dari Gereja Katolik. Misalnya sebelum musim lefa atau olanua dimaknai dengan upacara misa di pantai, pemberkatan peledang oleh pastor, doa bersama, dan penggunaan air suci untuk kepentingan upacara bersih diri dari salah dan dosa.
Tradisi ini diawali dengan upacara misa dan ceremoti, upacara tradisional dimana seluruh komponen masyarakat Kampung Lamalera duduk bersama di pantai bermusyawarah untuk membicarakan seluruh persoalan kampung, persoalan perburuan dengan berbagai tahapan yang mesti dilaksanakan dalam perburuan itu. Upacara olanua ini menjadi unik dan demikian menarik karena rentetan upacara dan segala macam ritual adat dan agama Katolik. Perjumpaan kedua aspek ini menjadi begitu kental dan akrab dalam seluruh proses kehidupan masyarakat Lamalera.
Malam sebelum keesokan harinya mereka melaut, semua suku yang memiliki perahu berdoa di rumah adat (rumah suku) masing-masing. Mereka berbagi pengalaman dan mendengar petuah dari yang dituakan. Intinya masing-masing individu harus dapat menjaga ketenteraman, menjaga tutur kata, tidak boleh bertengkar dengan sesama, tetangga, dalam rumah tangga suami dan isteri, anak tidak ada perselisihan dan pertengkaran. Melanggar semua hal tersebut berarti kerja keras di laut tak membawa hasil. Masyarakat Lamalera meyakini bahwa hubungan antara yang di darat dan di laut merupakan hubungan sebab akibat. Keduanya saling mendukung dan saling menentukan. Atamole sebagai ahli pembuat peledang di darat memiliki peran sendiri yang berbeda dengan lamafa, juru tikam di laut. Salah, keliru, atau bahkan lalai membagi hasil tangkapan juga akan membawa dampak buruk terhadap proses penangkapan ikan. Karena itu masyarakat Lamalera sangat menjaga hubungan itu jangan sampai ternoda atau tercela.
Seluruh hasil tangkapan ikan pertama-tama diperuntukkan bagi para janda, fakir miskin, dan para yatim piatu. Mereka mendapat tempat utama dalam seluruh prosesi perburuan ikan. Dalam setiap nyanyian adat, doa, dan permohonan dari nelayan, kehadiran para janda, fakir miskin, dan para yatim piatu menjadi tujuan utama dari seluruh karya mereka di laut. Dalam tradisi olanua ada aturan di mana masyarakat Lamalera mempunyai komitmen untuk tidak boleh menombak ikan paus atau ikan lain yang sedang bunting. Peran lamafa (juru tikam) dalam memilih objek yang hendak ditombak menjadi sangat penting. Filosofi di balik itu adalah untuk menjaga kelestariannya supaya ikan-ikan tersebut tidak punah.
Masyarakat Lamalera meyakini bahwa dengan menangkap ikan paus, pari, dan berbagai jenis ikan besar lainnya dapat menghidupi seluruh masyarakat Lamalera, bahkan tradisi barter merupakan prinsip yang dianut oleh masyarakat Lamalera dan Pulau Lembata pada umumnya. Dalam keseharian ikan ditukar dengan jagung, padi, singkong, buah-buahan, dan berbagai komoditas pertanian lainnya. Diketahui bahwa dengan hasil itu masyarakat Lamalera dapat menyekolahkan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi.
Perlahan tapi pasti, Lamalera dengan keunikan tradisi perburuan ikan dan peralatan serba tradisional mengalami perubahan paradigma. Sebagaimana desa-desa tradisional di daerah lain, derasnya arus modernisasi dan teknologi tak terbendung memasuki seluruh ruang kehidupan. Tradisi dan prosesi perburuan unik itu perlahan terkikis habis. Seluruh aspek sosial, budaya, dan ekonomi yang sangat kental dengan kearifan lokal pun nyaris tak kuat bertahan. Tradisi ini mungkin hanya akan menjadi episode akhir dari sebuah perjalanan kisah hidup perburuan ikan dengan peralatan tradisional – sejak zaman prasejarah - yang hanya dimiliki negeri ini. Harmoni kehidupan yang lahir dan tumbuh dari prosesi panjang perburuan yang kaya akan nilai-nilai adat istiadat warisan leluhur, nilai-nilai keagamaan, dan hubungan sosial, hampir dapat dipastikan tidak akan kuat menghadapi terpaan gelombang modernisasi teknologi.
Ini jelas sebuah tantangan serius bagi pelestarian warisan tersebut. Suatu saat warisan itu harus diberdayakan dalam kemasan sebuah pesona pariwisata yang pada gilirannya diharapkan akan mendatangkan berbagai keuntungan. Tugas pemerintah dan masyarakat juga tidak mudah. Harus ada kerja sama untuk tidak lalai memperhatikan aspek dan keunggulan tradisi ini sebagai sumber yang diharapkan memberikan pemasukan bagi semua.
- Suku Bangsa Laut
Suku bangsa Laut atau Orang Laut terdiri atas kelompok-kelompok sosial yang berdiam di berbagai kawasan perairan Nusantara, seperti di perairan sebelah timur Sumatera, Selat Melaka sampai Myanmar, pesisir timur Semenanjung Tanah Melayu hingga ke Thailand, sekitar Kalimantan/Borneo, Sulawesi hingga ke Filipina, dan perairan Nusatenggara Timur. Kelompok masyarakat itu sering disebut Suku bangsa Bajau di Kalimantan, Nusatenggara, dan Sulawesi, Ameng Sewang di Bangka dan Belitung, dan Orang Selat di Selat Melaka. Mereka tidak tinggal menetap di satu tempat, tetapi berpindah-pindah dari satu perairan dangkal ke perairan dangkal lain. Biasanya mereka mengelompok pada perahu-perahu yang ditambatkan pada muara-muara sungai besar. Ada juga yang tinggal di perkampungan yang dibangun di atas air di muara-muara sungai besar. Rumah tinggal mereka disebut rumah kolong di mana bagian kolong rumah dipakai untuk menambatkan perahu.
Gambaran yang mirip dengan kehidupan Suku Laut ini diperoleh dari catatan orang Tionghoa. Sebuah berita Tionghoa yang berasal dari tahun 1225 menguraikan tentang rakyat di kerajaan Swarnnabhmi. Disebutkan bahwa rakyat tinggal di sekitar kota atau di atas rakit yang beratap rumbia. Mereka itu tangkas dalam peperangan baik di darat maupun di laut. Dalam peperangan dengan negara lain, mereka berkumpul. Berapa pun keperluannya dipenuhi. Mereka sendiri yang memilih panglima dan pemimpinnya. Semua pengeluaran untuk persenjataan dan perbekalan ditanggung oleh mereka masing-masing. Dalam menghadapi lawan dengan risiko mati terbunuh, di antara bangsa-bangsa lain sukar dicari tandingannya. Mungkinkah Orang Laut yang mendiami Sumatra bagian timur itu keturunan dari mereka itu ?
Dilihat dari latar belakang asal usul mereka, para ahli mengategorikan Orang Laut sebagai sisa keturunan bangsa-bangsa penutur rumpun bahasa Austronesia yang bermigrasi dari Asia daratan pada 2.500-3.500 tahun yang lampau. Mereka ini menyebar ke Nusantara dan pantai pesisir Asia Tenggara daratan hingga ke Champa. Mereka termasuk dalam golongan Melayu Tua (Proto Melayu) dengan ciri-ciri fisik Mongoloid.
Suku bangsa Ameng Sewang kiranya dapat dijadikan contoh untuk mengenali pola kehidupan sosial budaya orang Laut secara keseluruhan. Naskah-naskah lama menyebutkan bahwa orang Laut sudah lama hidup di perahu mengelompok di daerah perairan dangkal, dan tidak pernah tinggal di darat. Ada anggapan orang Laut bahwa darat adalah tempatnya orang mati, sedangkan laut tempatnya orang hidup dan mencari kehidupan. Sebuah laporan Belanda menyebutkan bahwa pada tahun 1668 sebuah kapal Belanda yang merapat di Belitung, para awaknya diserang oleh orang Ameng Sewang. Ini artinya, pada masa itu orang Ameng Sewang telah mempunyai suatu kekuatan yang patut diperhitungkan.
Laut adalah tempatnya orang Laut hidup dan mencari kehidupan. Kawasan perairan tempatnya mereka mencari kehidupan adalah Selat Karimata, sebuah selat di antara Laut Tiongkok Selatan dan Laut Jawa. Selat ini dikenal sebagai perairan yang ganas, terutama ketika angin musim barat. Pada musim ini orang Laut tidak melaut. Mereka berlindung di teluk atau di muara sungai yang terlindung dari angin dan ombak yang ganas. Kadang-kadang sampai berbulan-bulan lamanya mereka berlindung sampai musim kembali tenang.
Suku bangsa Bajau adalah suku bangsa yang tanah asalnya Kepulauan Sulu, Filipina Selatan. Suku bangsa ini merupakan suku bangsa nomaden yang hidup di laut, sehingga kerap disebut gipsi laut. Suku bangsa Bajau menggunakan bahasa Sama-Bajau. Suku bangsa Bajau sejak ratusan tahun yang lalu sudah menyebar ke negeri Sabah dan berbagai wilayah Nusantara. Suku bangsa Bajau juga merupakan anak negeri di Sabah. Suku-suku di Kalimantan diperkirakan bermigrasi dari arah utara (Filipina) pada zaman prasejarah. Suku bangsa Bajau yang sudah Islam ini merupakan gelombang terakhir migrasi dari arah utara Kalimantan yang memasuki pesisir Kalimantan Timur hingga Kalimantan Selatan dan menduduki pulau-pulau sekitarnya, lebih dahulu daripada kedatangan suku-suku Muslim dari rumpun Bugis yaitu Suku bangsa Bugis, Suku bangsa Makassar, Suku bangsa Mandar.
Wilayah yang terdapat Suku bangsa Bajau, antara lain: Kalimantan Timur (Berau, Bontang, dan lain-lain), Kalimantan Selatan (Kota Baru) disebut orang Bajau Rampa Kapis, Sulawesi Selatan (Selayar), Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur (Pulau Komodo). Bahasa Orang Laut memiliki kemiripan dengan Bahasa Melayu dan digolongkan sebagai Bahasa Melayu Lokal. Saat ini mereka umumnya bekerja sebagai nelayan. Seperti Suku bangsa Bajau, Orang Laut kadang-kadang dijuluki sebagai "kelana laut" atau “gipsi laut”, karena mereka hidup berpindah-pindah di atas perahu.
Termasuk juga Suku bangsa Laut adalah Suku Sekak. Merupakan suku bangsa yang mendiami pesisir sepanjang pesisir utara Pulau Bangka. Sebagian besar suku bangsa ini masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Namun ada juga akhir-akhir ini yang sudah menganut agama Islam dan Kristen. Ciri khas suku bangsa ini adalah mereka selalu mendiami daerah pesisir pantai dan mata pencaharian mereka adalah nelayan. Suku bangsa Sekak merupakan rumpun bangsa Melayu yang mana bahasa dan dialek yang digunakan hampir mirip dengan bahasa Melayu namun ada perbedaan yang cukup mencolok antara Suku bangsa Sekak atau orang Sekak dibandingkan dengan orang yang mendiami Pulau Bangka sekalipun warna kulit yang agak hitam. Kalau dilihat sepintas ada kemiripan dengan suku bangsa-suku bangsa lain di Indonesia khususnya di daratan Sumatera. Sekarang ini Suku bangsa Sekak tidak lagi merupakan suku bangsa terasing karena mereka sudah beradaptasi dengan budaya-budaya dari luar.
- Penutup
Wawasan Nusantara melihat negara kita bukan sebagai wilayah yang hanya terdiri dari pulau-pulau, melainkan sebagai sebuah negara kepulauan (archipelagic states), termasuk laut di antaranya (laut pedalaman). Dari pandangan ini dapat ditegaskan bahwa laut merupakan pemersatu, bukan sebagai pemisah. Sejarah bangsa ini telah membuktikan bahwa sejak awal aktivitas bangsa ini berada di laut. Sejarah Nusantara bukanlah sejarah yang hanya membicarakan masa lampau pulau demi pulau, akan tetapi meliputi seluruh wilayah kepulauan.
Limapuluh tahun sudah Indonesia mendeklarasikan diri sebagai Negara Kepulauan dan dua puluh lima tahun sudah Indonesia “dilindungi” secara hukum oleh dunia internasional (UNCLOS 1982) sebagai Archipelagic State. Namun dalam kurun waktu tersebut kita telah kehilangan Pulau Sipadan, Ligitan, dan Timor Timur, serta Pulau Ambalat yang masih disengketakan dengan Malaysia. Masih ada 12 pulau lagi di “tepi” Indonesia yang masih disengketakan dengan negara tetangga, yaitu Pulau Bondo, Pulau Sekatung, Pulau Nipa, Pulau Berhala, Pulau Marore, Pulau Miangas, Pulau Marampit, Pulau Batek, Pulau Dana, Pulau Fani, dan Pulau Bras.
Sebagai penutup dari makalah ini, dapat dikemukakan beberapa hal yang menyangkut Sejarah Nusantara bangsa Indonesia, yaitu:
- Cikal bakal sebagai bangsa bahari telah “dirintis” sejak ribuan tahun sebelum Masehi, yaitu ketika terjadi perpindahan manusia dari Asia daratan ke Nusantara.
- Sejak pertengahan milennium pertama tarikh Masehi di Nusantara telah muncul kerajaan-kerajaan maritim, seperti rwijaya, Matarm, Sihasri, Majapahit, dan Kerajaan Makassar yang menyadari wilayahnya sebagian besar merupakan kepulauan.
- Telah dikenal peraturan yang berkenaan dengan aktivitas pelayaran dan perdagangan.
- Kesamaan Teknologi Tradisi Asia Tenggara dalam pembuatan perahu yang ditemukan buktinya di situs-situs arkeologi menunjukkan bahwa teknologi ini dikenal luas di Nusantara, sekurang-kurangnya di belahan barat Nusantara.
- Melestarikan kearifan-kearifan lokal suku bangsa-suku bangsa bahari dalam pemahaman lingkungan alam tempatnya hidup, yang saat ini sudah hampir punah, seperti pengenalan astronomi sebagai pedoman di laut. Juga dalam hal pengelolaan sumberdaya laut, seperti yang dilakukan penduduk Pulau Lembata dalam perburuan ikan paus.
Ikan kerapu bukan pari,
Elok nian dipandang mata.
Bangsa Indonesia bangsa bahari,
Kekuatan laut tumpuan kita.
*) Pegawai Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Kontak: [email protected]
**) Makalah yang dipresentasikan pada kegiatan ngobrol@Tempo “Kingdom of the Sea Archipel” di Lotte Shopping Avenue (Galaxy International Experience Store, Jakarta 22 November 2018. Diselenggarakan atas kerjasama Tempo Media dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.