Jaya Wahono
Wakil Ketua Komite Tetap Bioenergi dan Tenaga Air Kadin
Belum lama ini Menteri Keuangan Sri Mulyani mengangkat isu risiko gagal bayar PLN terhadap utangnya yang melonjak. Kebijakan penyediaan listrik untuk seluruh rakyat tentunya harus memperhatikan kemampuan finansial negara dan tata kelola keuangan PLN. Satu hal yang bisa ditarik dari surat teguran Menteri kepada otoritas energi adalah diperlukannya transparansi dalam rencana perluasan jaringan PLN dan penetapan tarif, sehingga proses tersebut dapat memberi ruang untuk pengawasan dan masukan dari masyarakat.
Kondisi unik Indonesia adalah PLN sudah memegang wilayah usaha kelistrikan di seluruh wilayah, kecuali di beberapa kompleks industri dan dua desa. Implikasinya, di mana pun orang tinggal, mereka berhak mendapat layanan sambungan listrik dari PLN. Konsekuensi berikutnya adalah tarif listrik pun harus seragam untuk semua wilayah karena PLN tidak mengenal aturan tarif regional. Untuk itu, PLN perlu mendapat mandat, wewenang, dan kapasitas untuk melaksanakan tugas berat ini. Bila tidak, PLN akan mengalami penurunan kepercayaan dari konsumen dan pada akhirnya mengurangi kepercayaan terhadap pemerintah sebagai pemegang saham PLN.
Pemerintah berencana meningkatkan rasio elektrifikasi nasional, menumbuhkan konsumsi listrik, dan menurunkan emisi karbon melalui peningkatan penyerapan sumber energi terbarukan. Hal ini tentunya akan berdampak langsung pada kesehatan finansial PLN bila tidak diikuti dengan kebijakan kenaikan tarif. Seiring dengan rencana kenaikan tarif itu, tekanan dari berbagai kelompok dan partai politik juga semakin besar, sehingga membuat reformasi sektor kelistrikan berjalan lambat.
Pada dasarnya, banyak pihak menuntut transparansi soal pengaturan tarif dan proses pemberian subsidi. Tanpa hal itu, bisa diasumsikan bahwa kepentingan politik jangka pendek akan selalu mendominasi kebijakan subsidi. Apabila kondisi ini berlanjut terus, seluruh bangsa dan negara akan dirugikan karena pemerataan pembangunan mandek dan lingkungan semakin rusak karena pembangkit listrik berbasis energi fosil dominan.
Banyak negara berkembang sudah mereformasi sektor kelistrikan mereka, misalnya swasta ikut serta dalam membangun pembangkit listrik dan jaringan distribusinya dengan menggunakan sumber energi terbarukan. Tapi, di sini, usaha pengembangan tersebut tidak mungkin dilepaskan dari keterlibatan PLN dan pemerintah daerah. Undang-Undang Energi memang memungkinkan peran swasta sepanjang tingkat pelayanan dan tarif menyamai PLN. Hal ini tentu sulit dilaksanakan karena badan usaha itu tidak mempunyai wilayah usaha seluas PLN, sehingga tak memungkinkan subsidi silang antar-wilayah.
Usaha melistriki seluruh rumah tangga memang merupakan mandat dari undang-undang yang harus dijalankan oleh pemerintah. Maka perlu ada mekanisme baku kerja sama antara swasta, PLN, dan pemerintah daerah dalam meningkatkan rasio elektrifikasi di berbagai wilayah, terutama menggunakan sumber energi terbarukan.
Organisasi masyarakat sipil berpendapat bahwa subsidi untuk energi terbarukan tidak boleh dijadikan "cek kosong", tapi harus dikaitkan dengan kepentingan publik dan pengawasan. Bila suara masyarakat adat dan lokal diabaikan dalam pengembangan proyek energi terbarukan setempat, maka akan memberikan dampak pada berkurangnya dukungan mereka pada proyek-proyek kelistrikan secara umum. Kurangnya transparansi dan partisipasi publik dalam perencanaan dan pengembangan energi telah menyebabkan dikompromikannya prinsip dan standar lingkungan serta konflik sosial yang mengakibatkan meningkatnya biaya pembangunan sektor kelistrikan nasional. Hal ini harus dihindari karena Indonesia sudah tertinggal jauh dari negara-negara tetangga, baik dalam distribusi listrik maupun penyerapan energi terbarukan.
Konsumen listrik selayaknya memiliki peran penting dalam proses pengaturan tarif, memberikan umpan balik mengenai kebutuhan daya di wilayahnya, membantu mengurangi asimetri informasi, dan menuntut tata kelola perusahaan serta standar kinerja yang lebih baik dari PLN dan mitra swastanya. Mereka juga dapat memberikan masukan penting dalam penetapan prioritas investasi dan dampak distribusi dari rancangan tarif. Para pemangku kepentingan perlu diberi akses data tentang potensi energi terbarukan, sehingga dapat menganalisis secara tepat keputusan dan data pendukungnya.
Negara harus membangun institusi pengatur kebijakan kelistrikan yang lebih kuat dan proses pengambilan keputusan yang transparan dan akuntabel. Selain itu, harus ada investasi dalam pengembangan kapasitas untuk partisipasi efektif organisasi masyarakat sipil. Pembangunan akses listrik ke seluruh rumah tangga dan penetapan tarif listrik seyogianya tidak dapat dipisahkan dari tata pemerintahan yang baik, sehingga di masa depan penetapan tarif listrik dapat sejalan dengan kondisi keuangan PLN.