Ada pintu belakang dan ada Ciliwung, sungai yang tak diacuhkan. Dan dalam cerita ini, ada Meneer Barkey.
Tjalie Robinson, penulis Belanda yang terkenal dengan corat-coretnya, Piekerans van een straatslijper, menciptakan tokoh ini buat ceritanya, Vivere pericolosamente. Meneer Barkey berumur 34 tahun, berkulit putih, mata biru, rambut pirang, mirip Belanda totok, meskipun sebenarnya ia Indo. Ia tak banyak bergaul dengan Belanda-peranakan lain-mereka yang warna kulitnya lebih gelap. Penampilan seperti itu bikin kariernya bagus: dengan masa kerja cuma 14 tahun, ia sudah dinaikkan jadi kepala bagian. Kelompok Indo di kantor itu mencemburui nasib baiknya dan menuduhnya sebagai pengkhianat.
Di rumah, di tepi Ciliwung, Meneer Barkey juga tak bergaul dengan tetangga. Bahkan ia tak begitu akrab dengan istrinya. Empat tahun lebih tua, perempuan itu ia panggil "Moesje", terkadang "Pompelmoesje", si Jeruk Bali, karena bentuk tubuhnya bulat. Meneer & Mevrouw Barkey tak punya anak.
Moesje gemar membaca di tempat tidur sampai lewat tengah malam. Maka ia tidur sepanjang siang kayak kerbau setelah melahap rijsttafel. Tjalie Robinson tak menyebut rumah itu punya pembantu. Ia hanya menceritakan, Meneer Barkey tak pernah siesta-mungkin karena ia sudah tidur di kantor (tanda bahwa ia, di kantor pemerintah itu, bukan orang yang ambisius). Selama si Jeruk Bali lelap, Meneer akan mengisi waktu dengan memeriksa apa saja yang ada di rumahnya, untuk diperbaiki bila perlu.
Sehabis itu, Meneer Barkey akan lewat pintu belakang. Dengan berkemeja lengan pendek dan bercelana kolor katun yang panjangnya sampai di bawah lutut, ia akan berdiri di tepi Ciliwung, merokok.
Itulah saat-saat Meneer Barkey merasa jadi dirinya sendiri-bukan seperti ketika ia di kantor. Di kantor, dengan jas dan dasi, ia pegawai gubernemen, ia ambtenaar. Ia perabot. Meskipun terhormat.
Entah kenapa, pada suatu hari, mungkin lantaran celana kolor itu pula, Barkey yang Barkey ini mendadak merasa terimbau Ciliwung. Sebelumnya, sungai itu baginya hanya campur aduk yang bergerak dengan sampah, bangkai binatang, tahi manusia-indikator segala hal yang rendah dan vulgar di Hindia Belanda. Tapi hari itu berbeda: Barkey melihat Ciliwung sebagai kontras yang asyik. Sungai itu hidup, menampung aneka ragam hal, sedangkan rumah tempat hidupnya sekerat dunia yang acuh tak acuh, statis.
Meneer Barkey pun memutuskan turun berenang.
Dan saat itu sesuatu berubah. Lelaki Indo yang tampak totok itu memasuki vivere pericoloso, hidup dengan berani, "nyrempet-nyrempet bahaya"-hidup yang dulu tak dijalaninya sebagai pegawai gubernemen. Ia senang. Vitalitasnya tumbuh.
Tampaknya ada sesuatu pada Ciliwung yang hendak dikemukakan Tjalie Robinson.
Tjalie, nama pena Jan Boon (1911-1974), adalah penulis pembawa suara murung, jengkel, kocak, mencemooh: suara orang "Indo" di negeri jajahan. Ia lahir di Nijmegen, meninggal di Den Haag, tapi bagian penting hidupnya dijalani di Indonesia. Ibunya berdarah Jawa. Raut muka Tjalie tak jauh berbeda dengan moyang emaknya: pesek, tak bermata biru. Ia tak seperti Meneer Barkey. Dan seperti mereka yang bukan Belanda "murni", statusnya di tatanan kolonial selalu oleng.
Itu sebabnya seluruh hidupnya ia kerahkan agar para Indo didengar-dan untuk itu ia jadi antitesis bagi hidup ala Barkey. Baginya, orang macam Barkey tak sadar hidup sebagai façade yang membosankan, sebuah tampak-depan bangunan masyarakat kolonial Batavia yang takut berubah.
Di tahun 2008, Wim Willems menerbitkan Tjalie Robinson, biografie van een Indo-schrijver, setebal 582 halaman: dalam karya-karyanya, tulis Willems, Tjalie mencari dua "api khatulistiwa" yang membakar: "pembusukan" (bederf) dan "dorongan hidup yang nekat" (roekeloze levensdrang). Dengan itu ia cemooh muurtjesmensen, orang-orang yang berlindung di balik tembok kerdil, tak hendak meninggalkan rumah.
Tembok kerdil yang dibangun kolonialisme, yang diproyeksikan sebagai dinding abadi, adalah tembok rasial, etnis, kelas sosial-yang sebenarnya dinding kecemasan. Orang Belanda totok yang berkuasa di Nusantara waswas bahwa mereka, karena hidup jauh dari "peradaban" (maksudnya Eropa), akan tampak luntur atau bengkok-tak pantas lagi jadi bagian "kelas menengah Eropa" dengan ciri yang diidamkan.
Maka dengan segala cara mereka jaga kemurnian alias ke-totok-an. Dengan kekuasaan dan peraturan mereka bikin tapal batas, dan mereka kendalikan yang di luar sana dengan ruang, tembok, dan cap tempelan masing-masing agar tak bercampur bikin cemar: "Eropa", "Timur Asing", "pribumi".
Dan yang hibrida? Orang macam Tjalie? Pelbagai telaah masa kolonial menunjukkan bagaimana sikap para totok melihat "Indo": seperti Meneer Barkey melihat Ciliwung. Butek, mungkin bau.
Tapi Tjalie Robinson perlihatkan, yang hibrida tak berarti cacat. Ciliwung adalah arus. Arus sungai, seperti kehidupan, bergerak campur aduk, tak cuma tahi.
Goenawan Mohamad