Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Negara Tidak Hadir

Oleh

image-gnews
Iklan

Suparman Marzuki
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Realitas perlindungan hak asasi manusia setelah Orde Baru memperlihatkan wajah paradoksal. Di satu sisi, terjadi penguatan dalam legalisasi norma-norma hak asasi di pelbagai peraturan perundang-undangan. Pada saat yang sama, muncul keresahan akibat meluasnya intoleransi terhadap perbedaan serta bangkit dan beraksinya kelompok-kelompok dengan misi memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Baca Juga:

Perlindungan hak asasi dan eksistensi demokrasi bukan semakin eksis, tapi seperti unsur asing yang akan disingkirkan. Demokrasi dan hak asasi tiba-tiba dibenci dan dicaci maki sambil melupakan bahwa ruang yang dipakai untuk memaki itu adalah buah dari demokrasi dan penghormatan hak asasi manusia.
Upaya memelihara, memperjuangkan, dan menjaga hak-hak sipil mulai kepayahan. Ini sejalan dengan sulitnya organisasi-organisasi masyarakat sipil mewujudkan hak-hak dan kebebasan tersebut dalam negara yang semakin melemah.

Penyerbuan dan pembubaran acara diskusi, seminar, pameran, atau pemutaran film oleh sekelompok orang dengan tuduhan menyebarkan ajaran komunis telah terjadi berulang-ulang di banyak tempat tanpa mampu dicegah oleh aparat negara. Malah, dalam beberapa peristiwa, polisi justru meminta kegiatan itu dibubarkan.

Penyelidikan kasus penyiraman air keras yang menimpa penyidik senior andalan Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, kian tak jelas juntrungannya. Ini serupa dengan kasus yang menimpa aktivis Indonesia Corruption Watch, Tama S. Langkung, yang dianiaya orang tidak dikenal pada 2010. Kita lalu bertanya, di mana negara? Di mana polisi? Mengapa mereka tidak hadir? Mengapa terlambat hadir? Mengapa kehadirannya tak menghentikan kekerasan?
Pemberangusan hak-hak sipil pada era Orde Baru dilakukan oleh negara. Karena itulah negara diharuskan tidak melakukan kebijakan atau tindakan represif yang melanggar hak asasi manusia (negative right) agar hak-hak dan kebebasan sipil terpenuhi. Tapi, apabila negara berperan intervensionisme, tak bisa dihindari hak-hak dan kebebasan yang diatur dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik akan dilanggar oleh negara.

Sejak 1998, perilaku represif negara ala Orde Baru relatif selesai. Hak-hak dan kebebasan sipil politik warga negara semakin baik seiring dengan menguatnya pengaturan hak-hak dan kebebasan tersebut dalam peraturan perundang-undangan. Masalahnya, pada masa kini, pelanggaran hak sipil tidak lagi dilakukan oleh negara, melainkan kelompok-kelompok tertentu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lalu, bagaimana peran negara? Untuk situasi seperti ini, negara-yang dalam konsep hak asasi mengambil peran positif untuk pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya-mau tidak mau harus menjalankan peran positif untuk perlindungan hak sipil dengan mengambil langkah-langkah aktif dalam mencegah dan menanggulangi perilaku kelompok tersebut. Kalau diam saja (pasif), negara bisa dikategorikan telah melakukan kejahatan dengan pembiaran, atau bahkan bisa dituduh menjadi bagian dari kekerasan diam-diam.

Karena itu, negara sangat diharapkan tidak lagi absen, melainkan hadir dengan misi dan pesan kuat untuk melindungi hak-hak dan kebebasan serta harkat dan martabat kemanusiaan warga negara yang telah dijamin oleh peraturan perundang-undangan. Ini dilakukan demi negara hukum, demokrasi, dan konstitusi yang telah dibangun selama ini.

Paradigma negara demikian itu pernah ditunjukkan oleh Presiden Amerika Serikat Dwight D. Eisenhower ketika mengirim pasukan Divisi Airborne 101 dari Angkatan Darat Amerika ke Arkansas untuk melindungi sembilan murid kulit hitam dari tindakan segregasi. Langkah Eisenhower berhasil. Dengan demikian, pada 23 September 1957, untuk pertama kalinya, sembilan murid itu berhasil masuk sekolah dengan kawalan 1.200 tentara.

Langkah Eisenhower sempat dipertanyakan publik Amerika sebagai tindakan berlebihan. Tapi sang Presiden menyatakan bahwa apa yang terjadi terhadap sembilan anak kulit hitam itu adalah persoalan kemanusiaan yang serius. Jika dibiarkan, hal ini akan mengancam kelangsungan kehidupan kemanusiaan warga negara Amerika pada masa depan.

Kita merindukan negara yang menaruh hormat terhadap hak dan kebebasan warga negaranya secara maksimal agar tumbuh pula penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Tidak ada gunanya kemajuan ekonomi dengan segala kemewahan infrastruktur yang kita miliki jika hak-hak dan kebebasan warga negara terancam setiap saat. Kita pun barangkali sukar mengharapkan sikap hormat negara lain kepada warga negara kita di mana pun kalau tidak ada rasa hormat negara kita sendiri kepada warga negaranya.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


17 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

24 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.


Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

15 Januari 2024

Mantan Menkominfo Johnny G. Plate divonis 15 tahun penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei 2023 dalam kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan Kemenkominfo. Johnny bersama sejumlah tersangka lainnya diduga melakukan pemufakatan jahat dengan cara menggelembungkan harga dalam proyek BTS dan mengatur pemenang proyek hingga merugikan negara mencapai Rp 8 triliun. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

PPATK menemukan 36,67 persen aliran duit dari proyek strategis nasional mengalir ke politikus dan aparatur sipil negara. Perlu evaluasi total.