Ikhsan Darmawan
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Pada 20 Oktober lalu, rezim Presiden Joko Widodo genap berumur 36 bulan. Dalam kurun tiga tahun berjalan, kinerja pemerintahan Jokowi di bidang politik dan hak asasi manusia (HAM) lebih kental aroma permasalahan ketimbang pencapaian.
Mari kita tengok Nawacita. Klausul dalam prioritas program kedua janji kampanye Jokowi-JK itu mengamanatkan kepada Kabinet Kerja untuk "Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintah yang bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya dengan memberi prioritas pada upaya mengembalikan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan."
Bagaimana hasilnya? Alih-alih menelurkan kecemerlangan, di bidang politik dan HAM pemerintahan Jokowi malah dirundung sederet masalah. Di aspek membangun tata kelola pemerintah yang efektif, saya mencatat menonjolnya masalah miskoordinasi antarlembaga. Sementara sebelumnya antar-kementerian tidak kompak dalam hal reklamasi, maka yang terbaru hal itu terjadi dalam isu impor senjata. Dalam kebijakan soal penataan birokrasi, moratorium penerimaan pegawai negeri sipil hanya berjalan dua tahun. Padahal Jokowi sering menekankan pentingnya lebih mewujudkan pelayanan publik berbasis elektronik.
Dalam hal tata kelola pemerintah yang demokratis dan tepercaya, publik justru disuguhkan dengan pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Organisasi Masyarakat ke DPR dan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia tanpa didahului oleh pengadilan. Kedua hal itu diyakini membelenggu kemerdekaan individu untuk berkumpul dan berorganisasi. Belum lagi terdapat kecenderungan semakin banyak orang yang dipenjara karena menyampaikan pendapat di media sosial. Sampai 2017, menurut data Safenet, ada lebih dari 150 laporan pidana berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ke kepolisian. Jumlah ini melonjak dua kali lipat dibanding pada rezim SBY, yang selama 10 tahun hanya ada 61 laporan kepolisian.
Selanjutnya, di indikator reformasi sistem kepartaian, bantuan dana untuk partai politik, yang diharapkan bisa mendorong perbaikan di tubuh partai, masih menjadi wacana. Sementara itu, soal reformasi pemilu, yang penting digarisbawahi adalah sempat tertundanya kesepakatan pengesahan RUU Pemilu yang disebabkan oleh sikap keukeuh Jokowi akan presidential threshold untuk pemilu serentak pada 2019.
Di bidang penegakan HAM, berdasarkan laporan Amnesty International Indonesia, Presiden Jokowi dan rezimnya tidak berhasil menyelesaikan masalah HAM dengan baik. Hal itu berlaku baik untuk kasus HAM terbaru maupun kasus HAM masa lalu.
Salah satu aspek yang menjadi prestasi adalah soal membangun tata kelola pemerintahan yang bersih. Pembentukan Tim Saber Pungli cukup menjadi gebrakan. Indeks Persepsi Korupsi tahun 2016 juga mengalami perbaikan menjadi 37, dari sebelumnya di angka 34 pada 2014 dan 36 pada 2015 (TII, 2017).
Meskipun terdapat kondisi bermasalah seperti di atas, hasil survei Indikator Politik Indonesia periode September lalu menunjukkan mayoritas responden (68,3 persen) puas atas pemerintahan Jokowi. Mengapa terdapat kondisi yang kontradiktif tersebut? Saya berpendapat bahwa hal itu berkaitan erat dengan kemampuan Jokowi mengelola legitimasi publik dan legitimasi elite politik.
Legitimasi publik berangkat dari dimanjakannya publik oleh kegiatan-kegiatan Jokowi meresmikan infrastruktur di banyak tempat, khususnya pembangunan jalan tol. Belum lagi ada pembangunan MRT, LRT, kereta menuju Bandar Udara Soekarno-Hattta, dan skytrain. Hal itu yang dikapitalisasi oleh pemerintahan Jokowi sehingga membentuk persepsi yang cenderung positif di mata publik. Persepsi tersebut yang kemudian menyebabkan terwujudnya legitimasi dari publik terhadap Jokowi dan pemerintahannya.
Meskipun persepsi soal keberhasilan tak selalu berarti bahwa sebuah rezim benar-benar berhasil, menurut Sona Golder dkk (2017), persepsi publik terhadap sebuah pemerintahan penting, khususnya sebelum pemilu.
Legitimasi yang datang dari publik juga didukung oleh legitimasi yang berasal dari elite politik. Sejak reshuffle kabinet kedua, dukungan partai politik terhadap pemerintahan Jokowi relatif stabil. Partai-partai politik yang berikrar mendukung Jokowi cukup konsisten untuk selalu mendukung langkah-langkah pemerintah. Bahkan, lebih dari itu, jauh sebelum Pemilu 2019, NasDem dan Golkar telah mendeklarasikan dukungan mereka kepada Jokowi sebagai calon presiden mendatang.
Dalam kacamata pemerintahan dengan sistem presidensial, kondisi dukungan mayoritas partai politik ini baik untuk menciptakan kestabilan, sehingga pemerintah inkumben dapat bekerja tanpa "gangguan". Namun, di sisi lain, hal itu bermasalah karena terbentuknya tirani mayoritas. Hal ini berbahaya karena dapat membawa pemerintahan Jokowi menikmati kondisi tanpa oposisi yang berarti. Semoga saja ke depan terdapat perbaikan kinerja bidang politik dan HAM agar tak terus-terusan sekadar surplus legitimasi tapi minus prestasi.