Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic & Educational Business Institute Jakarta
Anda banyak berkonsumsi? Niscaya Anda menjadi pahlawan perekonomian. Pernyataan ini relevan jika merujuk data Badan Pusat Statistik mengenai kinerja perekonomian nasional belakangan ini. Pada triwulan kedua, misalnya, laju pertumbuhan konsumsi merosot, dari 5,07 persen menjadi 4,95 persen.
Celakanya, pertumbuhan konsumsi masih lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi, yang mencapai level 5,01 persen. Dengan kontribusi 57 persen terhadap permintaan agregat, perlambatan konsumsi seolah-olah menjadi isyarat awal terjadinya stagnasi ekonomi.
Tanda-tanda stagnasi ekonomi juga terkonfirmasi dari indikator makro lain. Laju inflasi melandai di bawah angka sasaran 4 persen. Sebagai tolok ukur harga umum, inflasi yang rendah berimbas pada kenaikan tenaga beli, sehingga akselerasi konsumsi mestinya bisa lebih kencang.
Faktanya, terjadi anomali. Konsumsi lembek justru di saat ekonomi memasuki era inflasi rendah. Beragam analisis dikemukakan para pengamat. Namun fenomena anomali daya beli masih menjadi polemik dan hingga kini menyisakan misteri yang butuh pendalaman lebih lanjut.
Harus diakui, anomali antara konsumsi dan laju inflasi dengan sendirinya menyiratkan konsumen tidak sensitif lagi terhadap pergerakan harga. Tren konsumsi agaknya lebih ditentukan oleh perubahan pendapatan.
Mengikuti pemikiran pemenang Nobel ekonomi, Milton Friedman (1957), pendapatan konsumen pada periode berjalan (current income) adalah penjumlahan dari pendapatan transitori (transitory income) dan pendapatan permanen (permanent income). Rendahnya laju inflasi berakibat pada kenaikan riil pendapatan transitori.
Pendapatan permanen-perkiraan pendapatan konsumen rata-rata dalam jangka panjang-sangat boleh jadi tidak berubah. Pendapatan permanen dianggap sebagai tingkat penghasilan ekuilibrium yang "aman" dibelanjakan untuk konsumsi. Konsekuensinya, konsumsi tidak segera berubah mengikuti dinamika pendapatan transitori.
Saat pendapatan transitori dianggap lebih tinggi dari tingkat pendapatan permanen, konsumen punya kesempatan menambah simpanannya di bank. Buktinya bisa dilihat, pertumbuhan tahunan dana pihak ketiga perbankan pada Mei 2017 tercatat 11,18 persen, didorong peningkatan tabungan dan deposito.
Motif berjaga-jaga adalah alibi yang lumrah untuk mencegah penurunan penghasilan pada masa depan. Dengan menunda belanja konsumsi pada periode berjalan, individu memiliki bekal kemampuan finansial yang lebih besar dalam melakukan aktivitas ekonominya pada masa mendatang yang penuh dengan ketidakpastian.
Tesis ini agaknya terjustifikasi. Survei konsumen Bank Indonesia menyatakan indeks keyakinan konsumen pada Juni 2017 melemah, dari 125,9 menjadi 122,4 poin. Persepsi konsumen terhadap kondisi perekonomian dan ketersediaan lapangan kerja pada saat berjalan maupun dalam enam bulan berikutnya masih buram.
Artinya, konsumen semakin rasional. Pola konsumsi rumah tangga mengikuti pendapatan permanen, alih-alih pendapatan transitori. Konsekuensinya, perubahan konsumsi tidak dapat diprediksi dari besaran variabel makro ekonomi, seperti laju inflasi atau siklus perekonomian.
Rasionalitas konsumen semacam ini sejatinya sudah lama diramalkan oleh ekonom Amerika Serikat lainnya. Menurut Robert Hall (1978), jika konsumen memiliki pengharapan rasional, perubahan konsumsi dari waktu ke waktu akan berjalan acak (random walk). Konsekuensinya, rumah tangga akan memodifikasi konsumsi semata-mata karena arus informasi baru yang mutlak mengharuskannya untuk mengubah ekspektasi ke depan. Dengan demikian, perubahan konsumsi mencerminkan "kejutan" antisipasi terhadap pendapatan permanen jangka panjang.
Paradigma ini memiliki implikasi yang tidak ringan. Kebijakan ekonomi yang berorientasi pada pendapatan transitori hanya sampai pada tataran efek pengganda. Adapun efeknya terhadap peningkatan konsumsi baru terjadi tatkala harapan konsumen atas pendapatan permanen benar-benar sudah berubah.
Lalu, seberapa kuat kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia atas Paket I-XVI di sektor produksi, regulasi BI di bidang moneter, dan strategi Kementerian Keuangan di area fiskal sampai pada level mampu mendobrak ekspektasi daya beli pendapatan permanen?
Dengan skema logika di atas, revitalisasi kebijakan makro ekonomi tampaknya menjadi sebuah keharusan. Tanpa kebijakan yang "radikal", banyak energi terkuras hanya untuk menangani gejolak yang, lagi-lagi, bersifat transitori. Selama itu pula konsumsi tidak berkelanjutan jika diplot menjadi lokomotif pertumbuhan.
Pada akhirnya, target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen sampai akhir tahun ini dan 5,4 persen pada tahun berikutnya akan sulit tercapai. Risiko paling berat adalah perekonomian terjerumus dari gejala menjadi stagnasi betulan.