Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Pertanian, Pangan, dan Kemerdekaan

Oleh

image-gnews
Iklan

Agus Pakpahan, ekonom kelembagaan

"Apakah ada hubungan antara pertanian, pangan, dan kemerdekaan?" Pertanyaan kawan saya ini memicu pikiran untuk menulis artikel tersebut, menjelang perayaan ulang tahun kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke-70 pada 17 Agustus 2015.

Pertanian ini memang landasan dari seluruh peradaban. Namun demikian, ternyata pertanian itu berasosiasi dengan kemiskinan petaninya, kecuali untuk petani yang berada di negara-negara maju. Rata-rata petani di negara maju bisa lebih makmur daripada rata-rata penduduk non-petani pada umumnya. Hal sebaliknya terjadi pada petani di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Kalau demikian adanya, apa makna kemerdekaan bagi petani?

Di satu pihak, petani dan pertanian telah memerdekakan sebagian besar penduduk negara melalui penyediaan pangannya. Argumen ini dibangun atas dasar fakta bahwa orang yang paling tidak merdeka adalah orang yang kelaparan. Juga, bangsa yang tidak merdeka adalah bangsa yang kelaparan. Dapat dibayangkan bagaimana rasanya apabila untuk menyambung hidup saja kita harus bergantung pada bantuan pihak lain. Kondisi kelaparan ini lebih parah daripada kemiskinan, walaupun kemiskinan itu sudah tak boleh ditoleransi. Pertanian sebagai pekerjaan budaya (agriculture) telah memerdekakan kita semua yang bekerja bukan sebagai petani, karena kerja keras dan ketulusan para petani, kita tidak kelaparan.

Sekarang, apa dukungan kita kepada petani dan pertanian? Kalau pola konsumsi pangan kita menjauhi hasil produksi petani di Tanah Air, ini suatu keputusan yang menggambarkan disloyalitas kita kepada petani. Masalah enak-tidak enak, atau masalah selera, pada dasarnya juga hasil pembentukan proses kultural yang terjadi dalam jangka panjang. Selain kehebatan iklan dalam mengubah selera konsumen, peran industri pengolahan pangan dengan sistem pengirimannya melalui berbagai jaringan dagang atau jasa ke hadapan konsumen sangatlah besar. Disloyalitas konsumen terhadap jenis pangan lokal akhirnya berkembang dengan kecepatan yang makin pesat. Fabiosa (2006) dalam tulisannya "Westernization of the Asian Diet: The Case of Rising Wheat Consumption in Indonesia", menunjukkan bahwa beras sudah menjadi komoditas inferior. Ini terjadi dalam kurun puluhan tahun saja.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apa salahnya kalau saya tidak menyukai pangan lokal? Menarik, apabila kita melihat fenomena Korea, yang telah menjadi negara maju belum lama ini. Pertahanan dan kemajuan ekonomi negara ini terletak pada selera konsumennya atas hasil produksi dalam negerinya. Hal ini berlaku umum pada negara maju, hanya berbeda dalam hal derajatnya saja. Tak mungkin pertanian mereka kuat apabila pasar pangan di dalam negerinya tak menerima hasil pertanian mereka sendiri.

Intinya adalah bahwa konsumen di negara maju pada umumnya loyal terhadap produk pertanian mereka, sehingga petaninya makmur. Kemakmuran petani ini juga didukung oleh kebijakan subsidi untuk menjaga kelimpahan pangan. Karena itu, bahasa yang lebih jelas mungkin bukan subsidi, melainkan belanja negara untuk membeli kelimpahan pangan agar selalu terjaga. Sistem yang dibangun ini bertujuan mencegah terjadinya kesulitan pangan atau terjadinya wabah kelaparan-ketidakmerdekaan atau keterjajahan.

Akhir-akhir ini, isu pangan selalu menjadi isu yang menarik di Tanah Air. Keberadaan Bulog, misalnya, sering dipandang sudah tidak memadai. Pembahasan berlanjut pada perlunya dibentuk lembaga pangan di atas Bulog, yang berfungsi sebagai regulator. Apakah dengan terbentuknya lembaga tersebut kinerja pangan nasional akan berubah? Apakah lembaga tersebut akan berdampak positif terhadap pertanian Indonesia atau hanya akan memperlancar keperluan impor pangan? Tentu pertanyaan tersebut sangat menarik untuk dibahas secara mendalam.

Apa pun bentuk lembaga pangan tersebut dan apa pun kebijakan negara dalam bidang pangan, yang harus dipilih adalah institusi atau kebijakan yang berdampak terhadap kelimpahan pangan hasil produksi dalam negeri dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan petaninya. Inilah makna kemerdekaan bagi petani dan pertanian, dan bagi negara secara keseluruhan. Caranya? Sebagai sumber inspirasi, pelajari saja yang telah dikembangkan di negara-negara maju dengan penduduk yang besar, seperti AS atau RRC. Kemudian sesuaikan dengan tujuan pendirian NKRI, situasi, dan kondisi Indonesia apa adanya.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Kalla Minta Sponsor Super Toy Bertanggung Jawab  

6 September 2008

Kalla Minta Sponsor Super Toy Bertanggung Jawab  

Kasus ini bermula dari kekecewaan petani Grabag dengan membakar tanaman padi karena gagal panen.


Petani Minta Ganti Rugi Rp 22,579 Miliar

4 September 2008

Petani Minta Ganti Rugi Rp 22,579 Miliar

Upaya mencari pimpinan PT Sarana Harapan Inopangan sudah dicoba ke beberapa tempat, termasuk menghubungi melalui telepon, tapi tak berhasil.


Padi Unggul Super Toy Belum Lulus Uji  

4 September 2008

Padi Unggul Super Toy Belum Lulus Uji  

Meski telah diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, padi itu hanya lulus pada aspek teknologi.