JATUHNYA korban hampir 80 anak dan remaja di Kendari, Sulawesi Tenggara, akibat obat PCC merupakan peringatan keras bagi pemerintah, khususnya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Apalagi seorang anak sekolah dasar di daerah itu tewas karena meloncat ke laut dan tenggelam di bawah pengaruh obat tersebut.
Sesuai dengan namanya, PCC merupakan senyawa parasetamol, caffeine, dan carisoprodol. Di Indonesia, obat ini dulu beredar dengan merek dagang Somadril dan digunakan sebagai penghilang rasa sakit. Ia termasuk obat keras sehingga hanya dapat diperoleh dengan resep dokter. Lantaran kerap disalahgunakan untuk kepentingan non-kesehatan, obat ini dilarang beredar oleh pemerintah melalui Keputusan Kepala BPOM RI Tahun 2013 tentang pembatalan izin edar obat yang mengandung carisoprodol.
Kasus Kendari menunjukkan bahwa pengawasan BPOM ternyata amat lemah. Obat yang mengandung carisoprodol masih beredar bebas di pasar. Di Kendari, obat ini dijual cuma seharga Rp 25 ribu per 20 biji. Padahal berbagai laporan sudah menegaskan bahwa PCC memiliki efek mengerikan bagi kesehatan dan membuat penggunanya ketagihan.
Sebagai contoh, pada 2003 sebanyak 208 orang dilaporkan meninggal di Florida, Amerika Serikat, lantaran menenggak obat ini. Menurut data Departemen Penegakan Hukum Florida, lima tahun kemudian jumlah kematian akibat PCC melonjak dua kali lipat, melebihi kematian yang disebabkan oleh penggunaan heroin. Sejumlah kasus pemerkosaan juga diketahui melibatkan obat ini. Pelaku mencampurkan carisoprodol ke dalam minuman untuk menghilangkan kesadaran korbannya.
Perangkat hukum untuk menindak pembuat dan pengedar obat yang mengandung carisoprodol sebenarnya sudah tersedia, yakni Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Sayangnya, aturan ini tak digunakan secara maksimal. Sebagai contoh, Pasal 197 undang-undang itu memberi ancaman pidana hingga 15 tahun penjara kepada orang yang menjual PCC. Dalam praktiknya, aparat hukum bertindak amat lunak. Pengedar yang tertangkap selama ini hanya dihukum ringan. Seorang apoteker di Bangka yang terbukti menjual PCC pada 2014 cuma divonis 4 bulan penjara dan denda Rp 3 juta.
Mengingat efek PCC yang sangat berbahaya, pengadilan seharusnya menjatuhkan hukuman maksimal kepada pembuat dan pengedar obat ini. BPOM pun mesti lebih serius mengawasi peredaran PCC dan obat-obat terlarang lainnya. Bila selama ini petugas BPOM rutin merazia makanan di pasar dan toko, semestinya mereka juga secara rutin memantau produksi berbagai obat keras dan merazia apotek, rumah sakit, serta tempat obat-obatan ini beredar.
Kalau perlu, Kementerian Kesehatan segera memasukkan obat ini ke dalam daftar obat yang tergolong narkotik. Dengan begitu, pembuat dan pengedarnya juga dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Badan Narkotika Nasional pun dapat ikut mengawasi peredaran obat tersebut.