Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Mitterrand

Oleh

image-gnews
Iklan
MITTERRAND di sebelah kiri, Pak Harto di sebelah kanan. Saya tak tahu persis, pernahkah presiden Prancis itu bertemu dengan presiden Indonesia, sebelum sidang FAO 1985 di Roma itu. Saya juga tak tahu, apa kesannya setelah pertemuan itu. Tapi sepuluh tahun yang lalu, ia menerbitkan bukunya, La paille et le grain ("Jerami dan Sekam"), dan di sana Francois Mitterrand menyebut, antara lain, nama "Suharto". Buku ini, yang versi Inggrisnya berjudul The Wheat and the Chaff, tidak sepenuhnya bisa disebut sebagai catatan harian. Ia lebih merupakan koleksi renungan, dari hari ke hari. Mitterrand lebih suka menamakan diri seorang yang bertindak, tapi ia sendiri memaklumkan: "Saya mengamati - dan saya menulis." Dan ia pun menuliskan tentang apa yang diamatinya pada Kissinger, dan Sadat, Golda Meir dan Brezhnev, Pompidou dan Giscard d'Estaing. Ia juga menulis tentang novel Gabriel Garcia Marquez dan puisi, tentang sosialisme dan anjing kesayangan. Hampir tiap hari ada saja renungan yang terekam, bahasanya terang dan elegan, dengan gairah hati yang jelas tapi mencoba sembunyi. Dan pada catatannya bertanggal 16 Oktober 1973, Mitterrand menyebut nama itu - "Suharto". Isinya cukup mengejutkan: ia mengusulkan, agar juri Hadiah Nobel Perdamaian memberikan penghargaan kepada jenderal dari Indonesia itu. Alasannya: karena orang-orang komunis Indonesia tidak lagi dibunuhi .... Dengan segera kita tahu, apa gerangan bayangan Mitterrand tentang Indonesia, 12 tahun yang lampau itu. Yakni, sebuah republik kekerasan. Sebuah negeri seperti Uganda di bawah Idi Amin, Yunani di bawah rezim Papadopoulus, Cili di bawah Pinocehet: sebuah negeri yang biasa membuang jauh-jauh lawan-lawan politik. Dengan kata lain, citra di kepala Mitterrand tentang Indonesia adalah citra yang umumnya berkembang di kepala seorang cendekiawan Eropa, apalagi bila ia kiri, tentang sebuah kekuasaan nun di sana - yang ceritanya banyak tercantum dalam buletin Amnesty International. Tapi waktu itu Francois Mitterrand belum lagi seorang kepala negara. Perihal kekuasaan di tahta yang tertinggi, ia cuma baru mendapatkannya dari buku dan cerita orang. Tulisan-tulisannya dalam "Jerami dan Sekam" memberi kesan tentang seorang yang berada dalam pergulatan politik, tapi pada akhirnya kembali kepada apa yang dicintainya sejak awal: puisi ide-ide pertukaran pikiran kebun yang terawat hutan yang rindang rasa simpati kepada sisi sejarah yang human. Seorang yang romantis. Mitterrand kini memang sering dicemooh sebagai suara dari masa silam. Saya tak tahu benarkah begitu kenyataannya. Tapi ia barangkali khas Prancis dalam tradisi intelektual dan politiknya sekitar 40 tahun yang lalu: perjuangan dengan gagasan-gagasan mendasar, yang mengerahkan kaki, hati, juga esei-esei. Dibesarkan dalam sekolah klasik, tumbuh jadi seorang sosialis yang tak mahir matematika dan tak bisa dagang, Mitterrand memang tak pernah bisa tampil sebagai teknokrat atau manajer profesional. Ia tak bicara tentang efektivitas dan efisiensi. Ia bicara tentang dua hal yang sudah lama kemerdekaan dan hati nurani. Sebab itulah merk sosialismenya bisa tampak tua - lebih tidak jelas dibanding merk Lenin dan Kiri Baru. Sebab, bagi Mitterrand, sosialisme tak mewakili nilai-nilai yang lebih tinggi ketimbang "kebenaran sederhana fakta-fakta". Sosialisme justru "mendebat, mencari, memperkirakan", "merontokkan berhala pujaan dan tabu-tabu". Ringkasnya, sebuah sosialisme yang berani hidup, tanpa tanda jalan dan peta yang siap. Sebab, ideologi telah pada gugur dan kenyataan kian rumit. Pegangan terakhir adalah hati nurani, kata Mitterrand, "partikel yang tak bisa dikorupsi" dalam rohani kita. Tanpa itu, di "abad yang malang ini", tak seorang pun akan mampu "menyaring mana yang gagasan dan mana yang sesembahan", memilih mana yang sumber ilham dan mana yang pangkal sihir. Tapi tulisan itu bertahun 1975. Sedasawarsa kemudian, Mitterrand duduk dalam kursi kepresidenan. Lalu kasus Rainbow Warrior pun terjadi: pasukan rahasia Prancis meledakkan sebuah kapal milik gerakan antinuklir, dan seorang fotograf yang tak bersalah tewas. Mitterrand memang tak terlibat, tapi ia berada di pucuk kekuasaan. Dalam posisi itu, dapatkah orang banyak mendengar sendiri bagaimana hati nuraninya bekerja? Ketika ia baru berumur 17 tahun, Mitterrand pergi ke Universitas Paris dan menyimak Filosof Julien Benda berpidato. Ia masih ingat salah satu kalimatnya: "Negara bila ketertiban dijaga, tak butuh akan Kebenaran." Kini, dalam usia 68 tahun, ia begitu lekat sudah dengan "Negara". Bisakah seorang presiden kemudian bertahan sebagai kepala negara, untuk tetap membutuhkan hal-hal yang tidak dibutuhkan Negara? Mungkin bisa. Tapi betapa merepotkannya. Goenawan Mohamad
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Sukarno Pernah Melarang Manifesto Kebudayaan 60 Tahun Lalu, Apa itu Manikebu dan Lekra?

8 hari lalu

Soekarno Presiden pertama Indonesia di Jakarta, saat para fotografer meminta waktu untuk memfotonya Presiden Sukarno tersenyum, dengan mengenakan seragam dan topi, sepatu juga kacamata hitam yang menjadi ciri khasnya. Sejarah mencatat sedikitnya Tujuh Kali Soekarno luput, Lolos, Dan terhindar dari kematian akibat ancaman fisik secara langsung, hal yang paling menggemparkan adalah ketika Soekarno melakukan sholat Idhul Adha bersama, tiba tiba seseorang mengeluarkan pistol untuk menembaknya dari jarak dekat, beruntung hal ini gagal. (Getty Images/Jack Garofalo)
Sukarno Pernah Melarang Manifesto Kebudayaan 60 Tahun Lalu, Apa itu Manikebu dan Lekra?

Presiden Sukarno pernah melarang Manifesto Kebudayaan pada 60 tahun lalu. Apa itu Manikebu dan Lekra yang mengemuka saat itu?


Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

16 hari lalu

Wartawan Senior Tempo, Goenawan Mohamad berbicara di acara Orasi Tokoh
Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

Goenawan Mohamad mengatakan etik bukanlah sesuatu yang diajarkan secara teoritis, melainkan harus dialami dan dipraktikkan sehari-hari.


Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

16 hari lalu

Pendiri Tempo Media, Goenawan Mohammad menyampaikan keynote speech bertajuk Etika dan Tanggung Jawab Sosial Pemanfaatan Teknologi Digital. Diskusi panel dilakukan dalam Puncak Acara Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo yang digelar Selasa, 30 April 2024.
Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

Dies Natalis Politeknik Tempo kali ini mengambil tema "Kreativitas Cerdas Tanpa Batas" dihadiri segenap civitas akademika Politeknik Tempo.


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

25 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

11 Maret 2024

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

6 Maret 2024

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

6 Maret 2024

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.