Perseteruan sesama anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang baru terpilih sama sekali bukan tontonan menarik. Apalagi yang mereka ributkan itu masa jabatan ketua-sesuatu yang lebih lekat dengan kepentingan para komisioner dibanding kepentingan korban pelanggaran hak asasi.
Sejak rapat paripurna awal Februari lalu, sembilan di antara 13 komisioner menginginkan masa jabatan Ketua Komnas HAM dipangkas dari semula 2,5 tahun menjadi satu tahun. Usul ini aneh. Pengusul pun sebetulnya tak punya alasan kuat untuk mengubah tata tertib internal itu. Alasan mereka, bahwa memperpendek masa jabatan ketua adalah untuk menjalankan kepemimpinan kolektif kolegial dan reformasi birokrasi, terdengar mengada-ada.
Benar bahwa Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tak mengatur lamanya masa jabatan ketua Komnas HAM. Tapi itu bukan berarti komisioner bebas berbagi kursi ketua seperti sebuah kelompok arisan. Apalagi ide "menggilir" jabatan ketua sulit dipisahkan dari kesan kuatnya ambisi sebagian komisioner untuk menikmati peluang dan fasilitas yang melekat pada posisi ketua.
Dengan menjadi ketua, seorang komisioner memang berpeluang lebih sering tampil mewakili lembaga. Profilnya akan menonjol, punya jaringan luas, dan bisa jadi lebih terkenal. Jabatan ketua pun identik dengan tunjangan khusus, kendaraan dinas, dan fasilitas perjalanan berkelas. Tapi, bila peluang dan fasilitas lebih itu menjadi pangkal sengketa mereka yang mengaku sebagai pejuang hak asasi, hal ini jelas sangat memalukan.
Perputaran pimpinan yang terlalu sering pun berbahaya bila sampai mengganggu kesinambungan program dan penanganan kasus pelanggaran hak asasi. Bahkan tanpa sering berganti-ganti pemimpin pun pekerjaan rumah Komnas HAM terus menggunung. Pengungkapan kasus pelanggaran berat hak asasi pada masa lalu, misalnya, sudah lama menjadi tunggakan lembaga ini. Duduk perkaranya tak kunjung terang-benderang. Para penjahat HAM pun masih menikmati impunitas alias kekebalan dari jangkauan hukum.
Kisruh di Komnas HAM ini masih bisa dimaklumi bila yang diperdebatkan adalah soal skala prioritas dan strategi pelaksanaan program. Bahkan untuk soal substansial dan demi kepentingan publik seperti itu pun, perdebatan tak boleh terlalu lama. Soalnya, Komnas HAM harus gesit menghadapi aneka tantangan yang memang tidak ringan.
Tahun lalu, lembaga riset nirlaba The Fund for Peace, yang berpusat di Washington, DC, misalnya, memasukkan Indonesia ke kategori in danger alias menuju negara gagal. Satu di antara tiga indikator utama mereka adalah merosotnya penegakan hak asasi dalam lima tahun terakhir.
Pengaduan rutin pun terus menggunung. Saban tahun, Komnas HAM menerima lebih dari 5.000 aduan. Bila komisionernya terus bertengkar, Komnas HAM dipastikan tak bisa maksimal mengurusi aduan itu. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap Komnas HAM akan terus terkikis. Sebaliknya, penjahat hak asasi akan terus bertepuk tangan.
Untuk mengakhiri kemelut ini, kembali ke tata tertib lama merupakan jalan keluar paling mudah dan sederhana. Tak perlu pula Komnas HAM mengundang pihak luar, seperti Dewan Perwakilan Rakyat, untuk mengurusi persoalan internal mereka. Selain bisa mengancam independensi Komnas HAM, tak ada jaminan para politikus itu bakal mengatasi masalah tanpa masalah.