Laporan Human Rights Watch yang dirilis Kamis lalu seharusnya tidak mengagetkan kita. Lembaga internasional berbasis di New York, Amerika Serikat, ini menilai pemerintah Indonesia gagal melindungi kaum minoritas dari kekerasan dan intoleransi atas nama agama. Kita tahu, kesimpulan Human Rights Watch hanya menegaskan apa yang sudah lama diketahui bersama.
Ketika sejumlah masjid Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan, Jawa Barat, dirusak dan dibakar pada Desember 2007, pemerintah diam saja. Setahun kemudian, pemerintah justru menerbitkan surat keputusan bersama yang melarang penyebaran ajaran Ahmadiyah. Hal serupa terjadi ketika Dusun Nangkernang, Madura, yang warganya menganut Syiah, diserbu dan dibumihanguskan pada Agustus tahun lalu. Bukannya melindungi, pemerintah justru menawarkan relokasi warga Syiah sebagai solusi konflik.
Itu baru dua kasus. Daftar warga korban kekerasan dan intoleransi beragama terus bertambah panjang. Ada jemaat GKI Yasmin, Bogor, yang tak kunjung bisa membangun gerejanya meski sudah mengantongi putusan Mahkamah Agung. Ada jemaat HKBP Filadelfia, Bekasi, yang juga sampai sekarang terkatung-katung. Bahkan individu pun tak bebas dari jeratan. Seorang pemuda asal Padang yang mengaku ateis, Alexander Aan, kini divonis 2,5 tahun penjara.
Baca Juga:
Setara Institute, lembaga pemantau kebebasan beragama di Indonesia, melaporkan kasus kekerasan terhadap kaum minoritas terus meningkat. Dari 244 kasus pada 2011 menjadi 264 pada 2012. Wahid Institute-didirikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid--mendokumentasikan 92 pelanggaran kebebasan beragama dan 184 peristiwa intoleransi agama pada 2011, naik dari 64 pelanggaran dan 134 peristiwa intoleransi pada 2010.
Di tataran global, peringkat Indonesia soal toleransi dan kebebasan beragama juga terus merosot. Survei Pew Research Center yang dipublikasikan pada pertengahan 2012 menempatkan Indonesia sebagai satu di antara 15 negara dengan indeks kerawanan sosial terkait agama paling buruk. Dengan peringkat itu, Indonesia sejajar dengan negara seperti Arab Saudi, Suriah, dan Afganistan.
Selama ini pemerintah selalu bersembunyi di balik alasan legal formal untuk menjustifikasi pengekangan terhadap kaum minoritas. Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Penodaan Agama, Keputusan Menteri tentang Pendirian Rumah Ibadah 2006, dan Surat Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah 2008, misalnya, selalu dikutip sebagai dasar. Jika terdesak, argumentasi lain yang disampaikan adalah menjaga kerukunan sosial dan ketertiban umum.
Padahal fakta yang terjadi sangat bertolak belakang. Setelah SKB Ahmadiyah diteken, misalnya, kekerasan yang menimpa umat Ahmadiyah justru meningkat. Banyak kabupaten dan provinsi menerbitkan peraturan melarang pengikut Ahmadiyah beribadah. Puncaknya, awal Februari 2011, massa menyerbu komunitas Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, dan membunuh tiga orang.
Tanpa perbaikan nyata, masa depan negeri ini jadi taruhannya. Jika kebebasan beragama hanya ada dalam pidato, cuma soal waktu ketika demokrasi dan hak asasi manusia jadi sasaran serangan berikutnya.
Sayangnya, reaksi Istana Negara atas laporan Human Rights Watch amat mengecewakan. Ketimbang merespons dengan positif, juru bicara presiden Julian Aldrin Pasha malah balik mempertanyakan motif di balik laporan tersebut.
Jika sebuah koreksi yang berlandaskan fakta ditanggapi dengan kecurigaan, Indonesia yang toleran dan menghormati kaum minoritas memang cuma mimpi.