Terorisme di Poso memang mencemaskan. Tapi situasi ini tak bisa dipakai sebagai pembenar bagi Detasemen Khusus 88 Antiteror untuk menghalalkan segala cara. Penganiayaan terhadap terduga teroris, seperti yang tampak dalam video yang kini beredar, jelas melanggar hukum dan layak diusut.
Dalam video yang diunggah ke YouTube itu diperlihatkan perilaku puluhan polisi, yang sebagian mengenakan seragam Densus 88. Mereka menganiaya beberapa terduga teroris. Jika video ini asli dan bukan rekaan, kekerasan tersebut telah mengkonfirmasi penilaian masyarakat selama ini bahwa pasukan khusus kepolisian itu tak lagi profesional.
Terlihat dalam video berdurasi 13 menit itu, misalnya, beberapa petugas memerintahkan seorang tersangka membuka celana tanpa alasan yang jelas. Tampak pula seorang tersangka yang terkena tembakan di dada tembus ke punggung. Meski sudah tertembak, dia dipaksa berjalan ke tanah lapang dan diinterogasi.
Ada juga perintah petugas kepada tersangka yang tertembak parah itu agar segera beristigfar karena, katanya, "Sebentar lagi kamu akan mati." Bagaimana mungkin penegak hukum tega melontarkan ucapan seperti itu? Bukannya segera memberi pertolongan atau membawanya ke rumah sakit, petugas justru membiarkannya meregang nyawa dan terus menginterogasinya.
Semua itu mempertegas kesan bahwa kepolisian mengabaikan hak asasi manusia. Komisi Hak Asasi Manusia bahkan mencatat jumlah terduga teroris yang tewas di tangan Densus mencapai 83 orang. Hal ini berarti setiap tahun ada 9-10 tersangka yang tewas sejak Densus berdiri sembilan tahun lalu. Komisi ini bahkan menemukan ada tersangka yang ditembak lebih dari 10 kali.
Kepolisian kerap berdalih bahwa tindakan menembak mati itu dilakukan secara terpaksa untuk melindungi diri. Publik tentu akan mempercayai argumen itu jika saja mereka mampu membuktikannya Nyatanya, terlalu banyak teroris yang ditembak mati di tempat penyergapan. Kesan yang justru timbul: pemerintah lebih memilih menempuh jalan pintas dalam memerangi teroris dibanding lewat proses hukum. Padahal menangkap teroris hidup-hidup amatlah penting agar pemerintah tak dituding membalas aksi biadab mereka dengan cara serupa.
Itu sebabnya, Komnas HAM perlu segera mengusut berbagai pelanggaran yang dilakukan anggota Densus. Dalam kasus video Poso itu, misalnya, secara terang Densus dan Brimob Polri telah mengabaikan hak hidup, hak untuk tidak disiksa kendati ia seorang tersangka, dan hak untuk diakui sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kendati kejadian dalam tayangan itu enam tahun lalu, Komisi Nasional HAM tetap bisa mengusutnya. Komisi ini perlu juga menyelidiki kematian 14 terduga teroris Poso pada tahun yang sama.
Komisi tentu bisa bekerja sama dengan Polri, yang juga telah menurunkan tim untuk memeriksa anggotanya yang diduga menganiaya itu. Memerangi terorisme memang penting, tapi mengusut anggota Densus yang sewenang-wenang dan diduga melanggar HAM juga tak kalah pentingnya.