Sungguh ironis bahwa kewenangan pejabat negara kalah oleh pemilik vila, para jenderal dan pesohor yang membangun rumah tetirah di kawasan hutan lindung di Gunung Salak atau Puncak. Bupati Bogor, yang berkuasa membongkar bangunan-bangunan ilegal di Puncak, tak berkutik ketika akan merobohkan vila-vila liar itu. Menteri Kehutanan pun, yang ditugasi negara menjaga hutan di Gunung Salak, tak bisa mengusir perusak hulu Sungai Cisadane tersebut. Keduanya beralasan vila-vila itu dimiliki orang-orang berpengaruh.
Keduanya lalu saling lempar tanggung jawab. Bupati Bogor mengatakan kawasan Salak berada di bawah kewenangan Menteri Kehutanan. Sedangkan menurut Menteri Kehutanan, 85 persen urusan daerah itu berada di tangan Bupati. Saling lepas tanggung jawab inilah yang kemudian berakibat tenggelamnya Jakarta.
Setiap kali terjadi banjir, Ibu Kota terendam lantaran Sungai Cisadane dan 12 sungai lain tak mampu menampung limpasan air superderas dari Gunung Salak atau Puncak. Bundaran Tugu Selamat Datang, jantung dan simbol Jakarta yang nyaris tak pernah tersentuh banjir, tenggelam akibat derasnya air di Kanal Barat saat banjir sebulan lalu. Di seluruh Jakarta, empat nyawa menjadi korban keganasan air tak tertampung itu.
Semua orang sudah mafhum, banjir Jakarta terjadi akibat buruknya penataan daerah aliran Sungai Ciliwung dan Cisadane. Pelbagai proyek memperbaiki aliran kedua sungai besar itu sudah banyak dikerjakan. Hasilnya, Jakarta tetap banjir. Hal itu terjadi karena hulu dua sungai tersebut tak pernah diperbaiki.
Jadi, sehebat apa pun langkah yang dilakukan Gubernur-Wakil Gubernur Jakarta dalam menata saluran air-terowongan, gorong-gorong, dan membangun tanggul-Ibu Kota tetap terancam saat musim hujan. Para pejabat kita, yang hidup dari uang rakyat, tak membereskan persoalan pokok penyebab banjir yang sudah menjadi rutinitas tersebut. Mereka sibuk saling menyalahkan, lempar tanggung jawab, dan lembek menghadapi para pelanggar hukum.
Lihatlah, vila-vila di Citamiang, Puncak, tetap berdiri kendati majalah Tempo pernah menurunkan laporan investigasi panjang tentang para pemilik bangunan ilegal itu tiga tahun lalu. Mereka adalah para pejabat juga, jenderal-jenderal, pengusaha, dan orang-orang kaya yang tak peduli terhadap kerusakan lingkungan akibat pembangunan vilanya. Mereka pula yang mengutuk ketidakbecusan pemerintah Jakarta dalam menangani banjir.
Dan, pekan ini, Tempo menurunkan liputan keberadaan vila-vila itu di Gunung Salak. Bangunan-bangunan di sana jelas ilegal karena berdiri di pusat hutan lindung, sumber resapan hulu Cisadane sekaligus penahan jutaan kubik air hujan. Mereka bukan hanya pejabat, tapi juga artis, pengusaha, dan pengamat politik. Semestinya mereka sangat paham bahwa ulah mereka membangun vila itu menjadi salah satu penyebab Jakarta selalu banjir dan mengakibatkan kekacauan serta kerugian ekonomi.
Sudah bukan waktunya para pejabat itu bersilat lidah mencari-cari alasan soal siapa yang paling bertanggung jawab membereskan problem utama hulu sungai yang mengaliri Jakarta. Saatnya duduk satu meja untuk menata kembali hulu-hulu sungai itu. Tindak tegas mereka yang membangun vila di kawasan hutan lindung. Jangan karena mereka orang berpengaruh, jutaan warga terus-menerus menjadi korban banjir.