Ringannya tuntutan bagi M. Rasyid Amirullah Rajasa amat mencengangkan. Terdakwa kecelakaan lalu lintas ini hanya dituntut hukuman percobaan kendati menyebabkan korban meninggal. Hal ini jelas melukai rasa keadilan. Jika sang terdakwa orang biasa, bukan anak petinggi, tentu tak seringan itu tuntutannya.
Keistimewaan putra Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa itu bahkan sudah dinikmati sejak ia menjadi tersangka, awal Januari lalu. Rasyid sama sekali tidak ditahan. Alasannya, ia mesti menjalani terapi trauma pasca-kecelakaan. Padahal terapi sebetulnya tetap bisa dilakukan sekalipun ia ditahan. Praktis, selama dua bulan lebih, Rasyid masih menikmati udara segar bersama keluarganya.
Sopir angkutan kota atau Metromini yang menabrak dan menyebabkan orang lain meninggal tentu langsung ditahan. Tapi Rasyid memang bukan sopir angkutan umum. Ia mengemudikan BMW X5 ketika mengalami kecelakaan pada hari pertama tahun baru itu. Mobil mewahnya ini menabrak Daihatsu Luxio. Akibat tabrakan ini, dua penumpang Luxio meninggal setelah terlempar keluar dari mobil, dan setidaknya tiga orang terluka.
Dengan hanya dituntut hukuman percobaan, bisa saja Rasyid tidak akan pernah masuk ke bui. Bayangkan, ia cuma dituntut dengan hukuman 8 bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan. Andaikata hakim nanti memvonis sesuai dengan tuntutan, berarti Rasyid hanya akan masuk penjara bila ia mengulangi kelalaian yang sama dalam setahun.
Perdamaian dengan keluarga korban digunakan sebagai alasan jaksa menuntut ringan terdakwa. Dalih ini memang sering digunakan oleh jaksa atau hakim dalam menangani kasus serupa. Inilah antara lain yang membuat Undang-Undang Lalu Lintas tak pernah diberlakukan secara tegas, khususnya Pasal 310 ayat 4 yang mengatur mengenai kelalaian mengemudi yang menimbulkan korban meninggal. Akibatnya, ancaman hukuman maksimal pasal ini, yakni 6 tahun penjara, jarang digunakan.
Mahkamah Agung semestinya meluruskan salah kaprah penerapan hukum itu. Benar, perdamaian dengan pihak korban bisa dipertimbangkan dalam kasus pidana. Tapi seharusnya hal ini hanya berlaku untuk delik aduan, seperti penipuan. Hukum di Indonesia jelas berbeda dengan di negara seperti Arab Saudi. Di negara itu, keluarga korban tewas-baik oleh pembunuhan maupun kelalaian--bisa mencabut tuntutan jika sudah ada kesepakatan dengan pelaku.
Jika penanganan kasus kecelakaan juga mempertimbangkan soal perdamaian, ini tentu akan merusak tujuan hukum lalu lintas. Keluarga korban boleh saja menerima hukuman bagi pelaku. Tapi hukuman yang ringan tak akan menimbulkan efek jera, sehingga khalayak tetap terancam oleh perilaku pengemudi yang ceroboh atau ugal-ugalan.
Itu sebabnya, hakim mesti berpikir mendalam dalam memvonis Rasyid. Jangan ragu menghukum terdakwa melebihi tuntutan jaksa bila memang lebih sesuai dengan rasa keadilan. Hakim juga perlu memberikan sinyal jelas bahwa semua warga negara--entah itu anak menteri ataupun sopir angkutan umum--berkedudukan sama di hadapan hukum.