Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah, yang sedang membahas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), mesti berhati-hati. Salah satu pasal dalam rancangan itu yang isinya mengatur masalah penyadapan sangat berpotensi melumpuhkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Bila pasal ini lolos, KPK tak bisa lagi bebas melakukan penyadapan seperti dijamin oleh Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Meski Undang-Undang KPK bersifat lex specialis, tidak terkena aturan KUHAP yang bersifat lex generalis, pencantuman pasal tersebut tetap berpotensi mengganggu KPK. Demi kepastian hukum dan menghindari gangguan terhadap KPK, rancangan itu semestinya diubah. Penyadapan boleh saja diatur dalam KUHAP, namun mesti dikecualikan bila menyangkut tugas KPK.
Soal penyadapan diatur cukup terperinci dalam rancangan KUHAP itu. Pasal 83 ayat 1 menyebutkan, penyadapan melalui telepon atau alat komunikasi lain dilarang kecuali untuk tindak pidana serius. Korupsi tergolong salah satu tindak pidana serius. Yang jadi masalah, ayat 3 pasal yang sama menegaskan bahwa penyidik yang hendak menyadap harus mengajukan permohonan izin tertulis ke hakim pemeriksa pendahuluan. Kalaupun izin diberikan, ini hanya berlaku selama 30 hari dan bisa diperpanjang maksimal satu kali.
Bukan kali ini saja ada undang-undang yang mencoba membatasi penyadapan oleh KPK. Lima tahun lalu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik lolos dengan salah satu pasal--Pasal 34 ayat 1--menyebutkan soal penyadapan akan diatur dalam peraturan pemerintah. Pasal inilah yang kemudian digunakan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk membuat peraturan mengenai penyadapan, termasuk oleh KPK. Untunglah, pasal bermasalah itu digugat ke Mahkamah Konstitusi, diterima, dan dinyatakan tidak berlaku.
Memang ada argumen bahwa rancangan KUHAP itu tak perlu dicemaskan bakal melumpuhkan kewenangan KPK menyadap. Argumennya adalah, Undang-Undang KPK bersifat khusus, lex specialis. Karena sifatnya ini, ia tidak terkena ketentuan dalam KUHAP yang bersifat umum, lex generalis. Hal ini dikenal sebagai asas lex specialis derogat legi generalis, yakni undang-undang yang bersifat khusus menyingkirkan undang-undang yang bersifat umum. Karena Undang-Undang KPK dibuat khusus untuk kasus korupsi, ia dianggap lex specialis.
Namun argumen itu juga bergantung pada interpretasi penyidik, penuntut, dan hakim. Dalam kasus sengketa pemberitaan, misalnya, meski sudah ada Undang-Undang tentang Pers yang bersifat lex specialis, beberapa kali digunakan ketentuan pidana umum. Dalam hal Undang-Undang KPK, peluang penafsiran seperti itu makin terbuka karena masih ada lubang dalam pasal 12. Pasal yang mengatur masalah penyadapan ini ternyata tidak dibekali ketentuan terperinci mengenai tata cara dan prosedur penyadapan. Lubang ini bisa dijadikan dalih bahwa masalah penyadapan dalam Undang-Undang KPK pun harus mengikuti ketentuan KUHAP yang bersifat umum.
Peluang bermain-main penafsiran hukum itulah yang harus dicegah. Yang bisa dilakukan adalah menambahkan pasal pengecualian dalam ketentuan KUHAP mengenai penyadapan. Harus ditegaskan bahwa pasal itu tidak berlaku bagi tugas penyadapan oleh KPK. Kalaupun tidak dimasukkan dalam salah satu pasal, pengecualian tersebut minimal dicantumkan dalam penjelasan. Tujuan pencantuman pasal itu adalah menutup peluang sekecil apa pun bagi mereka yang ingin mengusik kewenangan KPK menyadap.