Pemerintah semestinya mendukung keputusan PT Kereta Api Indonesia menghapuskan kereta ekonomi ruas Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Dengan hanya menyediakan kereta berpenyejuk udara, perusahaan negara itu bisa memenuhi tuntutan masyarakat akan angkutan massal yang aman dan nyaman. Konsekuensinya, konsumen kereta api mesti membayar tarif lebih mahal. Namun, dengan demikian, konsumen juga bisa menuntut hal lain yang tak kalah penting, yakni ketepatan jadwal perjalanan.
Selama ini, kereta api ekonomi seperti duri dalam daging bagi Kereta Api. Usianya sudah tua, dan sering rusak. Suku cadang pun sulit dicari karena sudah tidak ada di pasar. Sepanjang 2012, PT KAI mencatat ada 1.200 kerusakan kereta ekonomi dan 4.200 gangguan perjalanan. Selain itu, keamanan tidak terjamin: pintu dan jendela bolong-bolong, penumpang juga acap naik di atas gerbong kereta karena konsumennya berjubel. Saat ini, tinggal sembilan rangkaian ekonomi yang bisa dioperasikan.
Dengan kondisi seperti itu, tak banyak pilihan yang dimiliki PT KAI. Jika salah satu kereta rusak, untuk memperbaikinya, KAI harus "mengkanibal" kereta lain yang berakibat terus berkurangnya jumlah rangkaian. Kalaupun dipaksakan harus ada, tak ada jaminan keamanan, apalagi kenyamanan. Pengadaan kereta baru pun sulit dilakukan karena sudah tidak ada perusahaan yang masih membuat kereta tanpa AC. Karena itulah, pengoperasian kereta ekonomi non-AC memang layak dihentikan.
Yang harus dipikirkan pemerintah adalah nasib para penumpang kereta ekonomi. Setiap harinya ada 120 ribu penumpang. Sepanjang tahun lalu, jumlah penumpang kereta ekonomi Jabodetabek masih sekitar 46,5 juta orang. Kemampuan mereka membayar tiket jelas jauh di bawah penumpang Commuter Line (kereta AC). Sebagian besar dari mereka adalah para pekerja yang bergaji di level upah minimum provinsi. Saat ini tarif kereta AC jalur Jakarta-Bekasi Rp 8.500, sementara harga tiket kereta ekonomi hanya Rp 1.500. Dengan gambaran seperti ini, tambahan biaya transportasi per hari bisa mencapai sekitar Rp 300 ribu per bulan.
Jika kereta ekonomi dihapus, pemerintahlah yang harus mengambil alih persoalan ini dengan membayar selisih harga tiket dengan biaya produksi. Subsidi seperti itu masih dimungkinkan seperti diatur dalam UU Perkeretaapian. Jaminan pemberian subsidi inilah yang harus disampaikan pemerintah menjelang 1 April mendatang. Pemerintah tak boleh membiarkan PT Kereta Api menghadapi persoalan ini sendirian seperti ketika Stasiun Bekasi diduduki para pendemo yang mengakibatkan kekacauan perjalanan kereta api jarak jauh. Bukan tidak mungkin konsumen akan melakukan hal yang sama untuk memaksa PT KAI membatalkan keputusannya menghapus kereta ekonomi.
Tentu saja, pemberian subsidi ini harus dihitung dan diatur secara cermat agar tidak salah sasaran. Dalam keadaan yang genting seperti inilah pemerintah mesti membuat keputusan cepat agar rencana PT KAI yang bagus ini tidak dibatalkan begitu saja tanpa alasan yang lebih baik, seperti yang beberapa kali terjadi sebelumnya. Sayangnya, pemerintah sampai saat ini belum juga membuat keputusan kendati PT Kereta Api sudah mengusulkan sistem kartu bagi pengguna kereta api ekonomi pada pertengahan Maret lalu.