Wawan Sobari,
Dosen Universitas Brawijaya
Ada dua fakta paradoksal mengenai pemilu presiden dan wakil presiden 2014. Di satu sisi, tingkat ketertarikan publik terhadap politik dan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga publik terbilang rendah. Di sisi lain, indikasi defisit demokrasi itu tidak menyurutkan minat publik terhadap pilpres 2014.
Menurut survei nasional Saiful Mujani Research & Consulting pada Februari 2012, ketertarikan publik terhadap masalah politik hanya 32 persen. Sementara itu, data survei nasional Cirus Surveyors Group (CSG) pada Desember 2013 mengungkapkan pesimisme publik terhadap kinerja partai politik, DPR, dan pemerintah. Sebanyak 79,2 persen responden tidak dan kurang percaya terhadap parpol; rerata 51,13 persen responden yakin DPR belum menjalankan tiga fungsinya dan 59,7 persen merasa tidak diperjuangkan; dan rerata 34,68 persen responden menyatakan kurang puas dan kecewa terhadap 13 jenis pelayanan publik. Adapun survei CSG pada Februari 2014 menemukan sedikit perbaikan atas tingkat ketidakpercayaan terhadap parpol menjadi 75,01 persen.
Begitu pula tren partisipasi publik dalam pemilu legislatif dan pilpres. Pemilu legislatif 2009 mencatat partisipasi tertinggi hingga 92,74 persen. Sepuluh tahun kemudian, angka partisipasi menurun hingga 70,96 persen. Angka partisipasi pilpres setali tiga uang. Jumlah pemilih yang menggunakan haknya dalam pilpres 2009 tinggal 72,56 persen.
Sebaliknya, survei nasional Pol-Tracking Institute (PTI) pada Oktober 2013 menemukan 84 persen responden berminat mengikuti pilpres 2014. Lalu, survei PTI Januari dan Juni 2014 menunjukkan angka peningkatan minat untuk memilih dalam pilpres 2014 menjadi 84,9 persen dan 92,4 persen. Demikian juga angka partisipasi pada pemilihan legislatif 2014, naik 4,15 persen (75,11 persen).
Kemeriahan dukungan para sukarelawan terhadap kubu-kubu capres-cawapres merupakan fakta kontras lainnya. Kubu Jokowi-JK mengklaim telah mendapat dukungan dari hampir sejuta sukarelawan. Kubu Prabowo-Hatta mencatat sudah 820 elemen sukarelawan mendeklarasikan dukungannya di rumah Polonia, Jakarta, hingga akhir Juni 2014. Jumlah tersebut belum termasuk elemen sukarelawan yang mendeklarasikan dukungannya di daerah-daerah.
Kamus bahasa Indonesia mengenal kata sukarelawan atau volunter sebagai orang yang melakukan suatu pekerjaan secara sukarela. Para volunter bekerja atas dasar kemauan sendiri, dengan kerelaan hati.
Dalam kajian sosial, praktek-praktek volunterisme atau keterlibatan dalam lembaga-lembaga volunter merupakan indikasi utama tumbuhnya modal sosial (social capital). Putnam (1995) merinci elemen utama modal sosial dalam bentuk jejaring, norma, dan kepercayaan yang mendorong para volunter bekerja untuk mencapai tujuan bersama.
Sayangnya, penguatan praktek volunterisme dalam hal pilpres 2014 terjadi saat demokrasi mengalami defisit. Selain karena dominasi lembaga politik ketimbang aspirasi publik dalam membuat keputusan publik, lembaga-lembaga pilar demokrasi kurang mampu meredam tekanan nonpublik dalam mewujudkan tuntutan rakyat (Luckham, 2000). Padahal, lembaga-lembaga itu semestinya lebih responsif terhadap suara publik sebagai bukti menjalankan amanah suara publik (akuntabilitas).
Untuk itu, gejala paradoks penguatan jejaring sukarelawan capres-cawapres di tengah defisit demokrasi atau keterpurukan kinerja parpol dan DPR bisa dimengerti. Penyebabnya, basis gerakan para sukarelawan bersandar pada tujuan mendukung figur capres atau cawapres, bukan identitas parpol pengusungnya. Bahkan, sangat mungkin para sukarelawan tak tertarik dengan parpol. Dengan tanpa mengatasnamakan parpol, gerakan mereka bisa lebih kuat karena tidak dibatasi sekat identitas politik yang kental kepentingan, cenderung konfrontatif, dan rendah kepercayaan.
Bonus modal sosial di tengah demokrasi yang nirsurplus merupakan pekerjaan rumah bagi siapa pun pemimpin terpilih dalam pilpres 2014. Presiden dan wapres terpilih mesti memiliki karakter kepemimpinan dan kebijakan yang mampu mengundang keterlibatan publik, sebagaimana antusiasme para sukarelawan.
Bukan sekadar populis, tipe kemimpinan partisipatoris sangat dibutuhkan dalam situasi melemahnya peran pemerintah karena berbagai tekanan. Terbitnya Inpres Nomor 4 Tahun 2014 yang menargetkan pemotongan belanja negara hingga Rp 100 triliun merupakan salah satu indikasinya. Peran entitas non-negara sangat dominan dalam menggerakan roda ekonomi, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah.
Walhasil, siapa pun capres-cawapres terpilih nanti bukan saja harus mampu mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan yang terpecah karena perbedaan dukungan. Lebih dari itu, pemimpin terpilih mesti mampu memanfaatkan potensi besar volunterisme para sukarelawan. Kemudian, pemimpin dapat mentransformasikannya menjadi modal sosial untuk meminimalkan keterbatasan negara dalam memberi manfaat kepada rakyat.