Perusahaan Listrik Negara (PLN) kembali ingkar janji. Sewaktu menjadi Direktur Utama PLN, Dahlan Iskan pernah menjanjikan tidak akan ada lagi pemadaman listrik setelah 30 Juni 2010. Ternyata, pekan ini Jakarta dan Jawa Barat masih mengalami pemadaman listrik bergilir gara-gara kerusakan saluran tegangan tinggi di Sumedang.
Kini Dahlan memang tidak lagi menjadi orang nomor satu di PLN. Namun, sebagai Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, Dahlan semestinya menjewer keras manajemen PLN.
Ironisnya, pemadaman listrik ini terjadi justru ketika PLN mulai menaikkan tarif dasar listrik setiap tiga bulan sekali.
Perusahaan ini jelas mengabaikan hak-hak konsumen. Kerugian juga berlipat karena korban pemadaman ini bukan hanya rumah tangga, tapi juga pelanggan industri, yang notabene menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Jawa Barat selama ini menjadi salah satu sentra industri terbesar di Indonesia. Sejumlah asosiasi sudah menghitung, kerugian akibat pemadaman kali ini mencapai miliaran rupiah per hari.
Sudah saatnya pemerintah bersikap tegas terhadap PLN. Pemadaman ini menunjukkan bahwa sistem kelistrikan Jawa-Bali tidak andal. Pasokan listrik bisa berkurang karena apa saja, misalnya karena pemeliharaan, kerusakan pembangkit atau jaringan distribusi dan transmisi, sampai minimnya suplai bahan bakar, terutama gas. Padahal, dengan sistem yang terintegrasi, kelistrikan Jawa-Bali semestinya bisa mengatasi gangguan apa saja, dan pasokan listrik di seluruh Jawa-Bali bisa terjamin.
Manajemen PLN seharusnya bisa mengantisipasi kerusakan itu dengan cepat sehingga pelanggan, khususnya industri kecil yang mengandalkan pasokan listrik dari PLN, tidak menjadi korban karena kegiatan produksinya terganggu. Industri besar pun harus mengeluarkan dana ekstra guna membeli bahan bakar untuk menghidupkan gensetnya.
Kondisi di atas memperlihatkan betapa tidak seimbangnya posisi PLN dan pelanggan. Kecekatan PLN menghadapi konsumen yang terlambat membayar rekening sering tak terlihat ketika perusahaan ini dilanda masalah pasokan. Konsumen harus berulang kali menghubungi PLN jika listrik padam. Memang, sudah ada kemajuan di sana-sini, tapi tetap saja kerugian di pihak konsumen selalu lebih besar ketimbang yang diderita PLN.
Pemerintah sebetulnya sudah mengatur tingkat mutu pelayanan PLN tersebut dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 9 Tahun 2011. Pasal 16 peraturan tentang ketentuan pelaksanaan tarif tenaga listrik itu menyebutkan bahwa PLN wajib memberikan pengurangan tagihan listrik kepada konsumen sebesar 10 persen dari biaya beban atau rekening minimum apabila pelanggan mengalami pemadaman listrik. Perusahaan listrik ini sudah menyatakan bahwa mereka mengurangi tagihan di bulan berikutnya.
Sayangnya, kompensasi ini tak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan akibat listrik mati. Artinya, listrik menyala sepanjang waktu tetap jauh lebih baik ketimbang listrik mati. Persoalannya, konsumen tidak bisa berbuat banyak karena memang tidak ada pilihan. Monopoli PLN membuat hak konsumen sering dilanggar, sebaliknya posisi PLN sangat kuat. Pemerintahlah yang memiliki kewenangan untuk menegur. Sudah saatnya persoalan pemadaman listrik ini masuk kontrak manajemen dalam pemilihan direksi.