Kesan bahwa negara tak berdaya menghadapi pelaku kekerasan berlatar belakang agama semakin terbukti dari vonis bebas atas terdakwa kerusuhan Sampang. Dalam kasus konflik Syiah vs Sunni ini, pelaku seolah kebal hukum. Padahal kerusuhan tidak hanya memakan satu korban tewas, tapi juga menyebabkan ratusan warga Syiah terteror dan dipaksa mengungsi dari kampungnya.
Vonis janggal oleh Pengadilan Negeri Surabaya itu diberikan kepada Roies al-Hukama, Rabu lalu. Majelis hakim yang dipimpin Ainur Rofiq menyatakan terdakwa tidak bersalah. Hakim menyimpulkan, dakwaan jaksa bahwa Roies adalah otak pembakaran permukiman Syiah di Karanggayam, Sampang, Jawa Timur, pada 26 Agustus 2012, tidak terbukti.
Semestinya hakim gigih mengorek keterangan para saksi bahwa Roies adalah dalang pengeroyokan yang menewaskan warga Syiah bernama Hamanah. Sungguh janggal bahwa majelis hakim hanya memeriksa satu dari 20 saksi yang diajukan jaksa penuntut. Celakanya, keterangan satu-satunya saksi ini pun meringankan terdakwa. Saksi menyebutkan Roies tidak berada di lokasi kejadian saat kerusuhan berlangsung. Inilah yang kemudian jadi dasar putusan hakim.
Ringannya vonis itu tak lepas dari lemahnya proses penyidikan sejak awal. Berkas pemeriksaan Roies sempat empat kali bolak-balik dari Polda Jawa Timur ke Kejaksaan Tinggi. Mondar-mandirnya berkas menunjukkan bahwa penyidik tak menyusun pembuktian dan kesaksian dengan benar. Andai kasus ini ditangani dengan serius, sebetulnya sepak terjang Roies sudah terlihat bahkan sebelum kerusuhan pecah. Pada 2011, misalnya, dia sering menghasut warga Sunni untuk menjauhi, bahkan mengusir pemeluk Syiah dari kampung halaman mereka di Dusun Nangkernang. Penghasutan dan penyebaran kebencian ini tak bisa dilepaskan dari kerusuhan yang kemudian meledak.
Kelemahan juga terlihat dalam proses penuntutan oleh jaksa. Jaksa hanya menuntut Roies dengan hukuman 2 tahun penjara. Padahal Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur, pelaku perusakan dan pengeroyokan yang mengakibatkan korban jiwa dapat dituntut 12 tahun penjara.
Vonis ini hanya menambah panjang daftar hukuman ringan bagi para pelaku kekerasan berlatar belakang agama. Dalam kasus penyerangan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, awal Februari 2011, misalnya, hakim Pengadilan Negeri Serang, Banten, menghukum 12 terdakwa hanya 3-6 bulan penjara. Padahal kekerasan ini menyebabkan tiga anggota jemaah Ahmadiyah meninggal.
Pengadilan Negeri Bekasi juga pernah menjatuhkan vonis 5 bulan penjara terhadap Murhadi Barda. Ketua Front Pembela Islam Bekasi Raya ini didakwa terlibat kasus penusukan anggota jemaat sebuah gereja. Vonis ringan pun berlaku untuk beberapa kolega Murhadi, yang dituduh terlibat dalam insiden yang sama.
Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial semestinya turun tangan menelisik mengapa vonis bisa begitu ringan. Boleh jadi, jaksa, polisi, dan hakim ada di bawah tekanan sehingga takut memvonis lebih berat. Bisa juga, mereka tidak obyektif dalam mengungkap kasus ini. Jaksa Agung pun perlu mencegah berulangnya tuntutan ringan atas kasus yang menyangkut kebebasan beragama. Vonis ringan akan menyebabkan kekerasan seperti ini terus terjadi. Warga minoritas yang menjadi korban pun tak akan pernah bisa tenang menjalankan keyakinannya.