Amat menyedihkan melihat hukum bisa dipermainkan oleh M. Nazaruddin dan istrinya, Neneng Sri Wahyuni. Meski sedang menjalani hukuman penjara, keduanya bisa wara-wiri keluar dari sel dan "pelesir" bersama di rumah sakit. Rendezvous ala Nazaruddin-Neneng itu sangat melecehkan wibawa hukum.
Tak sulit menyimpulkan bahwa alasan sakit yang digunakan Nazaruddin dan Neneng hanya akal bulus. Bagaimana mungkin dua orang bisa sakit pada saat bersamaan? Mengapa pula hal itu terjadi berulang-ulang hampir tiap bulan? Pertengahan Maret lalu, misalnya, mereka sama-sama "sakit" dan dirawat di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta. Pasti bukan kebetulan bila kamar tempat keduanya dirawat ternyata bersebelahan. Lagu lama "sakit" itu diulang pada April ini. Nazaruddin mengaku menderita penyakit batu empedu sehingga harus dirawat di Rumah Sakit Abdi Waluyo, Menteng, Jakarta Pusat, sejak 11 sampai 20 April lalu. Nah, lagi-lagi, pada saat yang sama, Neneng juga dirawat di situ.
Longgarnya tangan hukum terhadap Nazaruddin-Neneng menjadi bukti bahwa banyak pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang tak bersih. Hukum seperti tumpul terhadap orang yang memiliki duit atau kuasa. Semua bisa diatur asalkan ada uang.
Nazaruddin semestinya berada di balik jeruji karena harus menjalani hukuman 7 tahun penjara. Dia tersandung kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games. Neneng seharusnya juga menjalani hukuman 6 tahun penjara lantaran tersangkut kasus korupsi pengadaan pembangkit listrik tenaga surya di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Namun, setahun terakhir, mereka leluasa melenggang ke luar penjara berkat surat sakit. Nazaruddin berulang kali mengeluhkan aneka penyakit, dari maag akut sampai ada batu di empedunya. Neneng pun kerap mengaku terkena diare akut dan muntah-muntah.
Langkah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsudin mencopot Syaiful Sahri dari jabatan Kepala Rumah Tahanan Cipinang-lantaran mengizinkan Nazaruddin berobat-memang sudah seharusnya. Namun publik berharap tindakan itu tidak hangat-hangat tahi ayam. Soalnya, peristiwa serupa pernah terjadi pada 2010. Saat itu terungkap bahwa Artalyta Suryani, terpidana kasus penyuapan jaksa Tri Gunawan, bisa membangun "istana" di penjara Cipinang. Selnya mewah. Dia menempati ruang berukuran 6 x 6 meter, dilengkapi tempat tidur ukuran dobel, sofa, AC, televisi layar datar, serta kulkas penuh makanan. Kementerian Hukum kala itu menjatuhkan sanksi mutasi bagi para pejabat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang terlibat.
Kini, pengistimewaan serupa terjadi pada pasangan Nazaruddin-Neneng. Jangan salahkan bila kemudian orang berpikir bahwa hukum bisa dibengkokkan. Hasil riset Lingkaran Survei Indonesia juga menunjukkan hal itu. Sebanyak 56 persen masyarakat tak puas atas penegakan hukum di Indonesia. Tingkat ketidakpuasan menunjukkan tren meningkat dalam lima kali survei serupa yang digelar LSI sejak 2010.
Kekecewaan publik itu semestinya diperhatikan pemerintah dan para penegak hukum. Mereka seharusnya menghukum lebih keras pejabat yang terlibat. Dokter yang diduga asal-asalan mengeluarkan surat keterangan sakit juga harus diperiksa Komisi Etik Kedokteran. Jangan biarkan hukum menjadi akal-akalan para pesakitan.