Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Epilog Pemilihan Presiden

image-profil

image-gnews
Iklan

Firman Venayaksa,
Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten

Dalam pemilihan calon presiden kini, peperangan politik tidak hanya didominasi oleh kalangan elite partai. Semua orang memiliki hak untuk bersuara walaupun terkadang bising dan berisik. Kita menjadi sulit untuk mendeteksi apakah suara-suara itu penuh makna atau hanya sekadar gema.

Jika dulu para pengamat politik dan lembaga survei bisa dijadikan sebagai dasar seseorang untuk memilih calon presiden, sekarang sulit untuk mendapatkan netralitas obyektif itu. Begitu pun dengan peran media. Kenapa? Karena hanya ada dua pilihan. Jika Anda mengkritik capres tertentu, seobyektif apa pun, Anda akan diposisikan sebagai pendukung capres lainnya, dan begitu pun sebaliknya. Alih-alih membuka ruang obyektif, Anda akan selalu disudutkan karena membuka ruang negatif capres yang lain. Padahal, jika kita mengkritik, salah satu poin yang tak bisa dihindari adalah menilai dan mengevaluasi. Namun ada hal yang tak terbantahkan. Kita menjadi begitu peduli pada pilpres kali ini.

Begitulah jika kita berada pada dua pilihan. Hal itu pun terlihat dari lembaga survei yang sekarang ini ramai digunjingkan bahkan dijadikan sebagai parameter keberhasilan dua pasangan capres. Dua-duanya mengklaim berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) bahwa mereka memenangi pertarungan tersebut, sehingga di jejaring sosial banyak yang berceloteh bahwa kini Indonesia memiliki dua presiden yaitu presiden quick count. Candaan pun berlanjut, "Sebaiknya dibuat dua shift saja, ada presiden siang dan ada presiden malam, biar adil."

Di dalam tulisan ini, saya tak hendak menjustifikasi persoalan hasil lembaga survei tersebut. Kredibilitas dan profesionalitas mereka dipertaruhkan. Siapa yang bermain-main dengan data, akan dihukum dengan sendirinya. Saya ingin lebih berfokus pada ruang lain yang lebih menarik dan menjadi fenomena baru.

Dalam perhelatan pilpres yang lalu, mesin partai sangat mendominasi. Partai-partai yang meraih suara mayoritas lebih diunggulkan menjadi pemenang pilpres dan tidak membuka ruang kerelawanan seperti masyarakat nonpartai. Begitu pun dari sisi pendanaan. Masyarakat tidak diberi peluang untuk ikut menyumbang kepada calon presiden yang diminatinya. Konsep klasik ini membuat jarak yang cukup menganga di antara masyarakat dan para elite politik. Padahal perubahan mekanisme demokrasi memungkinkan terjadinya terobosan-terobosan baru. Rakyat rindu dilibatkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sayangnya, konsep klasik ini masih dipakai oleh pasangan Prabowo-Hatta. Slogan "Presiden Pilihan Rakyat" mengindikasikan ada konstruksi hierarki yang dipertahankan, yaitu presiden-rakyat. Sedangkan di kubu nomor urut dua, dengan slogan "Jokowi-JK adalah kita", telah mendekonstruksi kemapanan klasikal yang dibangun elite politik. Dengan demikian, rakyat menjadi bagian yang integral dengan Jokowi-JK. Citraan lain dari kubu Prabowo-Hatta yang mengajak Indonesia menjadi Macan Asia lalu "dipaksa" bernostalgia ke masa Orde Baru dengan menjual stabilitas keamanan dan harga-harga murah hanyalah utopia belaka. Orde Baru bagi sebagian rakyat mungkin masa keemasan, tapi di sisi lain yang cenderung dilupakan adalah mereka telah membuka luka lama bangsa ini.

Dalam pilpres sekarang, diakui atau tidak, kubu Jokowi-JK telah membangun konstruksi demokrasi yang lebih modern. Jokowi-JK menekankan pada slogan "Indonesia Bisa" yang mengajak ke ruang visioner yang lebih konstruktif. Rakyat dibuka peluangnya untuk ikut terlibat menjadi relawan mereka. Bahkan dengan durasi yang tidak terlalu lama, pasangan ini membuka peluang bagi masyarakat untuk ikut menyumbang dalam pilpres ini. Sebanyak Rp 120 miliar lebih yang dihimpun dari sumbangan masyarakat bukanlah dana yang sedikit.

Pada tulisan ini, saya tidak menampik bahwa ada kerja-kerja partai yang ikut membangun kontestasi pilpres. Namun yang membedakan pilpres sekarang dengan pilpres sebelumnya terletak pada pendulum ini: relawan. Kerja-kerja kreatif yang dilakukan oleh para relawan dari pelbagai dimensi telah membuka mata para politikus di Indonesia bahwa kekuatan para relawan jauh lebih segar dan tak terbantahkan. Jika hanya mengandalkan suara yang dibangun partai yang mendukung Jokowi-JK, tidak akan cukup mengimbangi kubu Prabowo-Hatta yang didukung oleh mayoritas partai di republik ini. Jadi, elektabilitas capres bukanlah satu-satunya modal dalam pilpres kali ini. Keikhlasan para relawan untuk mendukung Jokowi-JK-lah yang membuat mereka bisa kuat. Wajar jika setelah pemilihan umum, yang pertama kali dilakukan Jokowi adalah mendatangi komunitas-komunitas relawan, karena ia mafhum betul bahwa ia memiliki "utang budi" kepada para relawannya.

Namun demikian, saya yakin bahwa kedua capres ini, baik dari kubu Jokowi-JK maupun Prabowo-Hatta, menginginkan hal terbaik untuk bangsa ini: bangsa yang merindukan perubahan yang berarti, tidak hanya slogan dan pencitraan semata. Selepas pemilu ini, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, terutama merealisasi janji-janji mereka.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Survei Capres Muhaimin Iskandar Rendah, PKB: Masih Ada Peluang

27 Desember 2021

Wakil Ketua DPR RI Abdul Muhaimin Iskandar
Survei Capres Muhaimin Iskandar Rendah, PKB: Masih Ada Peluang

Dalam survei tersebut Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar hanya dipilih 0,1 persen responden.


DPR Dorong KPU dan Bawaslu Antisipasi Potensi Masalah Pemilu 2024

22 Desember 2021

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustofa
DPR Dorong KPU dan Bawaslu Antisipasi Potensi Masalah Pemilu 2024

Komisi II DPR meminta KPU dan Bawaslu Provinsi Jawa Barat mengantisipasi kesulitan pemilih menggunakan hak pilih, lantaran diprediksi akan banyak surat suara.


Setya Novanto: Golkar Siap Menangkan Jokowi di Pilpres 2019  

27 Maret 2017

Ketua DPR Setya Novanto melambaikan tangan sembari tertawa usai mengikuti Rapat Paripurna di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, 15 Maret 2017. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Setya Novanto: Golkar Siap Menangkan Jokowi di Pilpres 2019  

Setya Novanto mengungkap hitung-hitungan apabila Jokowi kembali berhadapan dengan Prabowo dalam pilpres 2019.


Gagal Pilkada DKI, AHY Punya Modal Besar Ikut Pilpres 2019

22 Maret 2017

Putera sulung mantan Presiden SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) (tengah) menyerahkan piala kepada Ketua Pelaksana Kejuaraan Asia Karate SBY Cup XIV Jackson AW Kumaat (keempat kiri) di Jakarta, 25 Februari 2017. ANTARA FOTO
Gagal Pilkada DKI, AHY Punya Modal Besar Ikut Pilpres 2019

Qodari mengatakan masyarakat cukup mengenal figur Agus Yudhoyono atau AHY ini


Tiap Parpol Bisa Ajukan Calon Presiden, Jokowi: Masih Proses

16 Januari 2017

Presiden Joko Widodo memberi pernyataan usai Rapim TNI, didampingi Menkopolhukam Wiranto, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian di Cilangkap, 16 Januari 2017. TEMPO/Yohanes Paskalis
Tiap Parpol Bisa Ajukan Calon Presiden, Jokowi: Masih Proses

RUU Permilu Diperkirakan selesai sekitar bulan empat ke depan.


Sindrom I Want SBY Back, Sinyal Ani Yudhoyono Maju Capres?

10 September 2015

Susilo Bambang Yudhoyono membacakan pidato politiknya usai ditetapkan menjadi ketum periode 2015-2020 dalam penutupan Kongres Demokrat di Surabaya, 13 Mei 2015. Dalam pidato politiknya SBY membacakan 10 rekomendasi hasil kongres untuk landasan kerja selama lima tahun kedepan. TEMPO/Nurdiansah
Sindrom I Want SBY Back, Sinyal Ani Yudhoyono Maju Capres?

Ada spekulasi bahwa Demokrat memunculkan sindrom I Want SBY Back untuk mempersiapkan Ani Yudhoyono.


Jokowi Tak Butuh, Relawan Bakal Membubarkan Diri

28 Oktober 2014

Relawan membentangkan Bendera Merah Putih raksasa saat mengikuti kirab budaya menyambut Presiden ketujuh Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, di kawasan MH Thamrin, Jakarta, 20 Oktober 2014. TEMPO/M IQBAL ICHSAN
Jokowi Tak Butuh, Relawan Bakal Membubarkan Diri

Sampai saat ini mereka masih menunggu kepastian dari Jokowi.


Jokowi Dilantik, Relawan Jokowi-JK Berevolusi

13 Oktober 2014

Pendukung Jokowi-JK menggunduli rambutnya saat Pemilu Presiden 2014 di posko Relawan Keluarga Nusantara di Kuta, Bali, 9 Juli 2014. TEMPO/Johannes P. Christo
Jokowi Dilantik, Relawan Jokowi-JK Berevolusi

Relawan Jokowi-JK turut mengontrol realisasi program pemerintah di pedesaan.


Fahri: Koalisi Pro-Prabowo Tidak Berencana Pilpres MPR  

9 Oktober 2014

Pimpinan MPR terpilih, Ketua Zulkifli Hasan bersama Wakil Ketua (kiri-kanan) Hidayat Nur Wahid, H. Mahyuddin, Evert Erenst Mangindaan dan Oesman Sapta Odang berfoto bersama pada Sidang Paripurna pemilihan pimpinan MPR di Gedung Nusantara, Jakarta, 8 Oktober 2014. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Fahri: Koalisi Pro-Prabowo Tidak Berencana Pilpres MPR  

"Enggak ada agenda itu. Makanya, tidak perlu ditanyakan,"
kata


Fahri Hamzah soal agenda mengubah pemilihan presiden dari



langsung menjadi lewat MPR.


Giman Membawa Ratusan Pesan untuk Jokowi

30 September 2014

Jokowi. ANTARA/Rosa Panggabean
Giman Membawa Ratusan Pesan untuk Jokowi

Dalam perjalanannya, pria yang kesehariannya berjualan kue putu keliling itu membawa buku catatan yang berisi ratusan pesan ditulis tangan.