Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak konsisten mengenai masa pakai buku pelajaran. Dulu, buku pelajaran siswa sekolah dasar hingga sekolah menengah digunakan minimal selama lima tahun. Kini, pejabat kementerian itu menyatakan buku pelajaran SD hanya bisa dipakai sekali. Kebijakan ini jelas menghambur-hamburkan anggaran negara.
Alasan perubahan kebijakan itu sulit diterima nalar. Menurut Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Ramon Mohandas, buku SD hanya bisa digunakan sekali karena akan dicoret-coret siswa. Hal ini lantaran lembar kerja murid disatukan dengan materi pelajaran. Kata Ramon, metode tersebut akan lebih efektif untuk mengevaluasi peserta didik.
Masalahnya, asumsi tersebut belum pernah dibuktikan. Apa pula sulitnya bagi siswa mengerjakan soal dalam buku terpisah? Cara itu justru tak mendidik siswa untuk merawat buku. Belum lagi menghitung besarnya pemborosan anggaran negara karena setiap tahun pemerintah harus mencetak buku. Tahun ini, misalnya, dana Rp 173 miliar disediakan untuk penerbitan buku baru. Anggaran tersebut belum mencakup semua jenis buku pelajaran yang telah disiapkan oleh Kementerian Pendidikan.
Setelah rencana kebijakan itu dikecam, Menteri Pendidikan M. Nuh berusaha menetralkan. Ia mengatakan buku sekali pakai terutama hanya berlaku untuk siswa kelas I hingga III SD. Tapi penjelasan ini tetap membingungkan sekaligus bertolak belakang dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 12 Tahun 2008 tentang Buku.
Dalam peraturan tersebut dinyatakan secara gamblang bahwa "masa pakai buku teks SD hingga sekolah menengah sesingkat-singkatnya lima tahun". Penggantian hanya bisa dilakukan bila terjadi perubahan substantif mengenai materi buku. Sebagian khalayak tentu masih ingat, dulu peraturan itu dikeluarkan sebagai respons terhadap kritik ihwal penggunaan buku sekali pakai.
Sikap Kementerian Pendidikan yang mengabaikan aturannya sendiri semakin menimbulkan kecurigaan. Jangan-jangan, kebijakan pengadaan buku lebih banyak disetir oleh kalangan penerbit, bukan didasari tujuan mulia, yakni mencerdaskan bangsa. Seringnya penggantian buku selama ini juga tak membuat buku pelajaran kian bermutu, melainkan malah semakin amburadul, baik kualitas materi maupun cetaknya. Materi yang terlalu berat, ruwet, bahkan salah data tidak dikoreksi sehingga membingungkan siswa.
Kementerian Pendidikan juga tak memperketat pengawasan lelang pengadaan buku kendati kerap terjadi korupsi dalam proyek ini. Tak hanya melibatkan pejabat pusat, korupsi proyek buku juga telah menyebabkan banyak pejabat di daerah masuk penjara. Mereka kongkalikong dengan kalangan penerbit buku untuk menggelembungkan anggaran proyek buku.
Tanpa pembenahan mekanisme lelang, kebijakan buku pelajaran sekali pakai hanya akan semakin menyuburkan kejahatan yang merugikan negara itu. Kementerian Pendidikan semestinya lebih berkonsentrasi memperbaiki kualitas kurikulum dan guru ketimbang sibuk mengurus proyek buku setiap tahun.