Heri Priyatmoko
Alumnus Pascasarjana Sejarah FIB, UGM
Jika diamati, Jokowi sebagai homo novus (orang baru) di panggung politik, belum lama berkarib dengan aktivitas mudik, yang digelar setahun sekali. Lelaki kerempeng yang digambarkan mirip tokoh wayang Petruk ini larut dalam tradisi pulang kampung dan disambut meriah oleh warga Kota Solo semenjak menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Kepulangannya ke tanah kelahiran kali ini tentu terasa istimewa. Apalagi, Komisi Pemilihan Umum baru saja menetapkan dirinya sebagai pemenang dalam pilpres 2014. Merujuk pada peta arus mudik nasional, Kota Bengawan ini menjadi tempat tujuan utama para perantau. Tempo Doeloe, kelompok priayi dan saudagar setempat yang tidak mudik, memilih bertamasya ke Tawangmangu di kaki Gunung Lawu. Mereka juga menikmati ragam hiburan bareng keluarga di Kebon Rojo Sriwedari, ruang publik buatan Sinuwun Paku Buwono X (1893-1939).
Momentum Lebaran juga dimanfaatkan dua penguasa tradisional, Paku Buwono dan Mangkunegara, untuk mengumpulkan massa dan saling bermaaf-maafan. Lembaran sejarah lokal merekam bahwa penduduk di kota tersebut sering terlibat dalam perseteruan gara-gara membela junjungannya. Darmo Kondo, edisi 8 Desember 1937, menginformasikan bahwa selama dua hari di Stadion Sriwedari diadakan openlucht bij eenkomst sebagai "halalbihalal" atau "silahturahmi" atau "Syawalan" dan Lebaran oleh federasi dari reoekoen kampoeng di seluruh Kota Surakarta.
Malam pertemuan itu dihadiri kurang-lebih 10 ribu orang. Bangsawan Mangkunegaran, aristokrat Kasunanan, hoofd (kepala) penghulu, kaum intelektual, wakil pers, dan anggota perhimpunan pergerakan juga ikut membaur di lapangan luas itu. Di pojok stadion, sengaja dipasangi luidspreker dan versterker supaya para hadirin dapat mendengar pidato secara jelas dan menghayati isinya.
Acara agung ini mencuri perhatian pemerintah kolonial Belanda, yang dicap sebagai pengadu domba warga pribumi yang ulung. Kedua raja pewaris dinasti Mataram Islam tersebut paham betul bahwa arti "halal bi halal" yang berasal dari bahasa Arab ini kudu dilesakkan berulang kali agar tanak di batok kepala warga. Asa yang terpacak adalah mencegah gesekan politik yang rawan meletus menjadi konflik perkotaan. Lewat mulut abdi dalem pametakan (pegawai keraton yang mengurusi agama Islam), raja menerangkan bahwa halalbihalal bermakna meminta dan memberi maaf kepada sesama. Setiap orang mengurangi dosanya setelah berpuasa sebulan penuh. Memberi ampun atau maaf kepada satu sama lain merupakan satu kenikmatan yang besar dan mulia.
Guna menjaga relasi sosial dan membunuh bibit konflik yang bersemi di tengah masyarakat, kedua raja itu memerintahkan saban kampung menggelar malam pertemuan halalbihalal sendiri setiap bulan Syawal. Kemudian, disusul acara saling melebur dosa (memberi maaf) berskala besar. Gagasan apik ini merupakan tinggalan sejarah yang hingga sekarang masih dijalankan oleh setiap kampung di Kota Solo.
Dari kilas balik sejarah di atas, Jokowi, yang kelak menjadi presiden Indonesia, mestinya meneladani sikap dan mewarisi spirit para tokoh lokal dalam memelihara kerukunan masyarakat yang plural. Melalui perayaan Lebaran tahun ini, warga dipulihkan dari rasa permusuhan akibat gelaran pilpres. Mereka juga kembali diikat rasa persaudaraan sejati dalam suasana yang guyub. Itulah jiwa pemimpin yang sejati.