Darmaningtyas
Pengamat Pendidikan Dari Tamansiswa
Terpilihnya pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) sebagai presiden dan wakil presiden 2014-2019 akan membawa implikasi politik yang luas, termasuk menyangkut relasi antara pusat-daerah dalam bidang pendidikan. Hal itu lantaran, dalam visi-misinya, Jokowi akan mengembangkan keragaman, bukan penyeragaman. Dia juga memberikan peran lebih besar kepada daerah untuk mengembangkan model pendidikan yang menjaga keseimbangan aspek muatan lokal (daerah) dan aspek nasional, dalam rangka membangun pemahaman yang hakiki terhadap kebinekaan yang tunggal ika.
Visi-misi itu akan berimplikasi terhadap relasi pusat dan daerah. Sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (direvisi menjadi UU Nomor 32/2004), pendidikan merupakan salah satu sektor yang diotonomikan. Wewenang pemerintah pusat hanya pada kurikulum dan evaluasi hasil belajar. Persoalan guru, fasilitas pendidikan, dan pembiayaan pendidikan menjadi domain pemerintah daerah. Namun, dalam prakteknya, dominasi pemerintah pusat masih kuat. Sebab, selain dana bantuan operasional sekolah (BOS) dikucurkan oleh pemerintah pusat, kurikulum dan evaluasi yang tersentral juga membuat daerah tunduk seratus persen atas kemauan pemerintah pusat. Pemerintahan Jokowi tampaknya ingin memberikan peran kepada daerah, agar karakter daerah itu terlihat dalam sistem pendidikan nasional kita.
Pertama, konsekuensi dari niat untuk tidak melakukan penyeragaman adalah munculnya keragaman. Manajemen keragaman akan berbeda dengan penyeragaman. Penyeragaman berarti sentralisasi, sedangkan keragaman berarti desentralisasi. Daerah, khususnya pada level provinsi-karena Jokowi akan menata kembali otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang lebih kepada gubernur-perlu diberi peran lebih besar untuk mengembangkan sistem pendidikan di wilayahnya, termasuk melakukan evaluasi pendidikan. Dengan demikian, model evaluasi secara nasional seperti ujian nasional (UN) tidak diperlukan lagi. UN hanya diperlukan untuk pemetaan kualitas pendidikan nasional yang dapat dilaksanakan cukup 2-3 tahun sekali. UN untuk SMK tidak diperlukan, mengingat kualitas SMK ditentukan oleh kompetensi yang dimiliki.
Kedua, masalah kurikulum yang menjaga keseimbangan aspek muatan lokal (daerah) dan aspek nasional itu amat diperlukan, mengingat Indonesia sangat luas dan memiliki potensi yang beragam. Kurikulum 1984 dan 1994 memberikan porsi 20 persen untuk muatan lokal, tapi kurikulum 2013 justru menghilangkannya. Karena itu, mumpung belum dapat diimplementasikan karena banyak kendala, konsep kurikulum 2013 ini perlu dibenahi sesuai dengan visi-misi presiden terpilih Jokowi.
Implikasinya, kelembagaan tingkat dinas pendidikan di provinsi dan kabupaten/kota perlu diperkuat agar mampu mengembangkan kurikulum daerah secara baik. Pusat Kurikulum dan Perbukuan tidak hanya dikembangkan di pusat, tapi juga di daerah, agar pendidikan dapat menunjang pengembangan industri penerbitan di daerah.
Kurikulum nasional itu cukup mata pelajaran Pancasila, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, IPA, matematika, dan sejarah nasional. Selebihnya menjadi domain daerah. Dalam kurikulum 2013, semua mata pelajaran disiapkan oleh pusat sehingga daerah tidak memiliki ruang sedikit pun. Karena itu, konsep kurikulum 2013 ini pun perlu direvisi total.
Ketiga, soal distribusi tenaga guru, ini justru kebalikan dari yang seharusnya, yaitu guru menjadi domain pemerintah daerah. Tapi, mengingat sampai sekarang distribusi guru timpang, terlebih di daerah-daerah di kepulauan, Jokowi memandang perlunya pemerataan distribusi, disertai pemberian tunjangan yang memadai dan dukungan fasilitas asuransi yang memadai.
Pasal 18 ayat (3) UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sudah mengatur masalah tersebut. Dalam aturan itu, guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah di daerah khusus berhak atas rumah dinas yang disediakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan. Namun, karena UU itu tidak dijalankan, tidak ada salahnya bila masalah distribusi guru diambil alih oleh pemerintah pusat, demi terwujudnya kesejahteraan warga. Yang diperlukan adalah koordinasi dengan pemda sebagai pengelola wilayah untuk melakukan pemetaan daerah-daerah yang mengalami kekurangan guru dan sekolah-sekolah yang kelebihan guru.
Hal yang sama terjadi atas pemerataan fasilitas pendidikan. Hal ini seharusnya menjadi domain pemda, tapi karena berbagai alasan, pemda tidak berbuat maksimal. Tidak ada salahnya bila pemerintah pusat mengambil alih untuk mewujudkannya. Konsekuensinya, perlu ada penataan kembali dalam hal batas-batas kewenangan antara pusat dan daerah, sehingga sangat mungkin UU Nomor 32/2004 perlu direvisi. Pendidikan bukan termasuk yang diotonomikan, tapi daerah tetap diberi keleluasaan untuk mengembangkan pendidikan sesuai dengan karakter wilayahnya.