Penangkapan dua perwira menengah polisi di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia semestinya bisa jadi titik awal untuk membongkar praktek suap di lembaga itu. Wakil Direktur Sabhara Kepolisian Jawa Tengah Ajun Komisaris Besar Edi Suroso bersama pejabat Biro Sumber Daya Manusia Mabes Polri, Komisaris Polisi Juang Abdi Purwanto, dicokok Jumat pekan lalu ketika sedang membawa duit Rp 200 juta. Uang tersebut diduga akan dipakai menyogok perwira tinggi di Biro SDM Mabes Polri terkait dengan urusan kenaikan pangkat dan untuk mendapatkan jabatan tertentu.
Keduanya ditangkap tim khusus Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) dan sempat ditahan dua hari. Kini, kedua perwira itu sudah dibebaskan dan mereka bertugas seperti sediakala pada jabatan masing-masing. Polisi menyatakan pengusutan kasus mereka diserahkan kepada Divisi Profesi dan Pengamanan. Sungguh aneh polisi hanya membatasi penyelidikan kasus ini untuk mengetahui apakah sudah terjadi pelanggaran kode etik atau tindakan indisipliner, dan bukan memasukkannya sebagai kasus kriminal.
Apa yang dilakukan Kepolisian amat janggal, karena penangkapan itu merupakan buntut dari penyadapan yang dilakukan Bareskrim. Dengan demikian, Bareskrim sesungguhnya telah memiliki indikasi kuat adanya upaya penyuapan terhadap perwira tinggi Kepolisian yang bertanggung jawab atas urusan promosi dan mutasi. Tentu ini bukan sebuah kebetulan karena, sebelumnya, Mabes Polri telah mengumumkan bahwa Kepolisian akan melakukan mutasi dan promosi besar-besaran di kalangan perwira menengah di seluruh Indonesia.
Sedari awal, Kepolisian memang terkesan menutup-nutupi kasus ini. Sampai Senin lalu, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Ronny F. Sompie masih mengatakan belum mengetahui informasi tersebut. Padahal penangkapan sudah dilakukan pada Jumat pekan sebelumnya. Kantor Sompie dan lokasi penangkapan juga berada dalam satu kompleks Mabes Polri. Semestinya Sompie tak perlu menyembunyikan kasus penangkapan ini sampai berhari-hari.
Kepolisian justru bisa memanfaatkan penangkapan itu sebagai sarana kehumasan untuk menunjukkan bahwa mereka serius berbenah diri dalam melakukan reformasi. Praktek suap dalam proses mutasi dan promosi, termasuk untuk mendapatkan kesempatan sekolah di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan Sekolah Pimpinan, sudah lama diketahui. Hanya sedikit perwira terbaik polisi yang bisa melewati proses mutasi dan promosi tanpa uang sogok.
Penangkapan kedua perwira itu bisa dijadikan momentum untuk membenahi proses pengkaderan dan pemilihan calon pemimpin kepolisian. Para perwira terbaik ini terpilih karena kemampuan mereka, dan bukan lantaran mereka menyuap. Praktek sogok ini pada gilirannya juga mendorong para polisi tersebut meminta, bahkan memeras, pihak lain--kebanyakan dari kalangan pengusaha atau orang-orang bermasalahguna mendapatkan modal untuk menyuap.
Lingkaran setan tersebut sungguh sulit dipecahkan karena sudah berlangsung puluhan tahun. Kesempatan polisi untuk memberikan kado terbaik buat ulang tahunnya sendiri pada 1 Juli nanti tidak akan datang dua kali.